Saya mengenal banyak guru yang mengajar di sekolah. Dari sekian banyak guru yang saya kenal, hanya beberapa yang masuk katagori "pembaca".
Idealnya, seorang guru mesti rutin membaca untuk memperkaya wawasan. Sebagian besar guru di Indonesia tergolong pasif. Mereka membaca sekedar untuk modal kesiapan mengajar dalam kelas.Â
Guru pembaca membuka ruang diskusi bagi siswa. Bayangkan betapa luasnya pengetahuan siswa di sekolah jika guru-guru mereka menguasai banyak hal. Bukan sebatas terpaku pada mata pelajaran yang diampuh, namun juga terbuka untuk mendalami wawasan mengikuti zaman.Â
Di era digital saat ini, pengaruh Artificial Intelligence (AI)Â sangat mendominasi. Apalagi dengan munculnya sosok chat GPTÂ yang mempermudah segala hal.
Saya kerapkali mengawasi siswa di dalam kelas ketika mengajar. Teks bahasa Inggris yang dulunya kelihatan sulit, kini dengan mudah dapat diterjemahkan langsung.Â
Celakanya, siswa-siswa di sekolah semakin tergantung pada teknologi. Mereka malas mencatat pelajaran dan memilih jalan pintas. Apa yang sudah dituliskan guru di papan tulis dibiarkan begitu saja. Di akhir pelajaran, mereka mengeluarkan smartphone untuk mengambil gambar papan tulis.Â
Koleksi foto catatan pelajaran sekedar menetap dalam smartphone. Dari puluhan siswa, hanya 2-3 tiga yang benar-benar tergerak mencatat pelajaran.Â
Fungsi smartphone yang seharusnya membantu mereka belajar lebih baik malah memperburuk keadaan. Pola belajar siswa berubah drastis sejak kemunculan AI dan chatGPT.
Peran Guru
Era digital memberi tantangan tersendiri bagi guru. Peran guru kini tidak sebatas mengajari siswa, tapi mengarahkan dan memandu mereka untuk bijak menggunakan smartphone.Â
Sekolah tidak mungkin melarang siswa menggunakan smartphone. Kendati demikian, kebijakan sekolah sudah sewajarnya menfasilitasi penggunaan smartphone sebagai media belajar.
Tanpa arahan guru dan aturan sekolah, siswa lebih mudah terbawa arus negatif. Pengaruh media sosial dalam lingkup pendidikan telah merubah paradigma belajar di sekolah.Â