Banyak yang mengeluh tentang kualitas lulusan yang semakin buruk. Bahkan, sikap dan moral siswa mendadak anjlok. Guru tidak lagi dipandang sebagai sumber ilmu (source of knowledge), melainkan pencetus kelulusan.
Tidak dapat dipungkiri, kekhawatiran akan kualitas lulusan menempatkan guru di posisi bersalah. Di satu sisi, tugas guru adalah sebagai pendidik, di sisi lain guru dituntut untuk 'meluluskan' generasi yang berkualitas.
Guru-guru kehilangan keseimbangan, apakah harus fokus pada kuantitas lulusan, atau melaksanakan tugas mengajar sebagaimana peran asli mereka sebagai pendidik.Â
Lantas, apakah tujuan sebenarnya dari ujian nasional?
Kementerian pendidikan mesti menjabarkan fungsi ujian nasional melalui visi dan misi. Hal ini penting agar singkronisasi kebijakan tidak tumpang tindih antara pusat dan daerah.
Oleh karenanya, struktur asesmen pada ujian nasional sewajarnya diklasifikasi dengan indikator dan standar yang tepat, jelas, dan terukur.Â
Baiklah, mari kita bahas lebih rinci!.
Asesmen pada soal ujian nasional sebaiknya berstandar pada visi yang benar dan terukur. Misalnya, apa target pemerintah terhadap kualitas pendidikan selama 10 tahun kedepan?
Jika Indonesia ingin setingkat lebih baik dari rata-rata negara Asia, maka buatlah blueprint arah kualitas pendidikan untuk jangka panjang. Tidak perlu jauh, bandingkan saja dengan kualitas lulusan negara tetangga, malaysia.
Porsi soal pada ujian nasional juga sepantasnya mengakomodir guru-guru di sekolah. Maksudnya adalah, semua soal yang dibuat wajib melibatkan guru-guru terbaik di sekolah pada setiap mata pelajaran.
Lalu, dari ribuan soal yang dihasilkan, libatkan pakar dari universitas terbaik untuk mengecek kualitas dan bobot soal. Istilahnya screening test. Soal yang rancu dan ambigu dibuang. Hanya soal-soal yang berkualitas masuk saringan untuk kemudian diuji.Â
Pilot Test