Berdasarkan data Sistem Informasi Pengolahan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2023, per 24 Juli 2024 hasil input dari 290 kab/kota se Indonesia menyebutkan jumlah timbunan sampah nasional mencapai angka 31,9 juta ton [sumber: baca disini]
Saat mengantar anak ke sekolah, pandangan saya tertuju pada sekelompok burung merpati yang sedang mengais makanan di permukaan tanah.Â
Paruh-paruh burung tersebut mematuk sampah plastik yang berserakan. Sesekali mereka melahap plastik-plastik kecil untuk dimakan. Hewan mungil ini seperti kelaparan dan sulit mencari makanan di alam bebas.Â
Manusia setiap harinya menyebar sampah di berbagai permukaan bumi. Keberadaan sampah plastik yang berserakan sungguh memprihatinkan. Tidak hanya berbahaya bagi manusia, namun sampah plastik ini juga merusak ekosistem rantai makanan bagi hewan.Â
Sebagaimana kita pahami bersama bahwa hewan hidup bergantung pada alam. Sama halnya seperti manusia yang sepenuhnya bersandar pada alam untuk bertahan hidup di atas bumi.
Sampah-sampah plastik telah merubah ekosistem alami, yakni air dan darat. Rantai makanan hewan putus di tengah jalan bersebab keserakahan manusia.
Hutan yang ditebang menyebabkan habitat hewan terganggu. Sumber makanan pun hilang dari alam dan tidak sedikit hewan buruan terancam punah. Ekosistem alami sejatinya harus dipelihara, dijaga dan dilestarikan.
Faktanya, manusia setiap tahunnya merusak alam dengan menebang kayu, menggali tanah, dan merusak ekosistem liar. Akibatnya, hewan tidak lagi dapat bergantung pada alam dan terpaksa memakan 'apapun' untuk bertahan hidup.
Produksi plastik setiap tahunnya meningkat tajam. Bukankah ini sumber petaka bagi alam?
Tahun 2019 produksi sampah plastik di Indonesia sekitar 175.000 ton per hari. [Badan Informasi Geospasial]Â
Kebutuhan akan sampah plastik didorong oleh gaya hidup. Manusia tanpa sadar telah merusak alam demi memenuhi kebutuhan. Pada dasarnya, manusia sama sekali tidak membutuhkan plastik untuk menopang kehidupan di muka bumi.
Akibat keserakahan manusia puluhan tahun lamanya, ekosistem alam berubah drastis. Bahan pembuatan plastik yang dikeruk dari dalam bumi tidak sekedar merusak unsur hara tanah, tapi juga menyebabkan hilangnya keseimbangan sumber makanan alami dari alam.
Tanpa kita sadari, hewan-hewan teracuni akibat sampah plastik. Tidak berhenti di darat, biota laut pun menanggung akibat ulah tangah manusia.Â
Di Samudra pasifik, jumlah sampah plastik 6 kali lipat lebih banyak dari jumlah plankton. Ahasil, hewan laut menganggap sampah plastik sebagai sumber makanannya.Â
3.2 ton sampah plastik mengalir ke laut. Parahnya lagi, sampah-sampah ini bertahan ratusan tahun di samudra. Sebagian besar sampah yang berakhir di laut terpecah menjadi partikel kecil yang lumrah dikenal dengan sebutan microplastic.Â
Ukuran sampah plastik yang telah pecah berkisar 0,5-5 mililiter. Mikroplastik ini dengan mudahnya dimakan oleh hewan laut. Mereka menyangkanya plankton. Lalu, ikan-ikan yang telah memakan plastik ditangkap nelayan dan dikonsumsi oleh manusia.Â
Sungguh miris! keserakahan tangan manusia mengakibatkan alam kehilangan keseimbangan. Rantai makanan terputus dan hewan-hewan teracuni oleh plastik-plastik halus hasil kecerobohan manusia.Â
Bukankah ini perilaku buruk yang seharusnya dihentikan?
Manajemen Sampah
Masalah sampah seakan tidak pernah menemukan jalan keluar. Perusahaan-perusahaan besar yang memproduksi plastik bersembunyi dibalik kebijakan pemerintah yang tidak lain menguntungkan mereka.Â
Profit penjualan plastik hanya menguntungkan segilintir orang, namun merusak alam dalam skala besar. Dalih kebutuhan akan plastik adalah kekeliruan berselimut keserakahan manusia rakus.
Kini alam menanggung beban. Ekosistem alami, termasuk pasokan rantai makanan terganggu. Hewan-hewan kehilangan sumber makanan alami yang dulunya sangat mudah diperoleh.Â
Apakah manajemen sampah begitu buruk?
Jumlah sampah yang berhasil didaur ulang masih sangat terbatas. Dibanding tumpukan sampah di pembuangan akhir, hanya 10% sampah berhasil didaur ulang  secara keseluruhan untuk dimanfaatkan.Â
Gambaran besar perihal sampah di Indonesia cukup mengkhawatirkan. Pola manajemen sampah yang buruk menghasilkan tumpukan sampah liar di berbagai wilayah. Tanah menyerap unsur kimia dari pembusukan sampah dan merusak unsur hara tanah dan air bagi masyarakat sekitar.Â
Jika ini terus berlanjut, maka tidak tertutup kemungkinan kedepannya Indonesia memanen jenis penyakit baru. Hewan yang memakan sampah juga terkontaminasi dengan zat kimia, yang pada waktunya menjadi asupan makanan manusia.Â
Belajar dari Denmark
Denmark adalah salah satu negara yang berhasil menerapkan aturan daur ulang dengan baik. Denmark mengenalkan aturan daur ulang (recycling) pertama tahun 1978. Mereka mewajibkan minimal 50% kertas dan pembungkus minuman didaur ulang.
Aturan dan kebijakan sampah di Denmark dikenal dengan sebutan National Waste Management Plan. Khususnya sampah organik, pihak otoritas lokal memiliki aturan khusus untuk daur ulang.Â
Tidak terkecuali dengan bungkusan minuman yang diwajibkan aturan deposit-return system. Aturan ini sangat efektif untuk mengatasi sampah berbentuk bungkusan pada minuman. 89% dari bungkusan minuman tersalurkan dengan baik.
Uniknya lagi, sampah di Denmark terorganisir dengan baik. Kurang dari 1% sampah berakhir di tempat pembuangan akhir. Tahun 2020, jumlah sampah terbagi ke dua bagian, 53.9% terkumpul untuk disortir, sementara 45,2% dibakar.
Kapasitas penampungan sampah untuk dibakar melebihi kapasitas sampah yang ditampung. Artinya, pemerintah Denmark memiliki fasilitas mumpuni dan teknologi mutakhir untuk mengolah sampah.Â
Pada statistik hasil limbah sampah kota, terlihat jika porsi pembakaran sampah jauh lebih besar dibanding sampah yang disortir untuk didaur ulang dan sampah yang berakhir di pembuangan.Â
Denmark mengklasifikan aturan dengan tiga pendekatan: prinsip, tanggung jawab, dan aturan. Ketiga hal ini mendeskripsikan prinsip penanganan sampah, siapa yang bertanggung jawab, serta mengikuti aturan yang jelas.Â
Inilah kunci keberhasilan penanganan sampah di Denmark. Selain aturan jelas, prinsip penanganan sampah terhubung secara sistematis dan praktis. Tidak ada aturan tumpang tindih antara pemerintah pusat dan daerah. Semua merujuk pada standar yang sudah diwujudkan dalam satu kebijakan.
Sampah daur ulang di Denmark meningkat setiap tahunnya. Kebijakan proporsi pemilahan jenis sampah sangat efektif menciptakan kultur daur ulang pada masyarakat Denmark.
Pemerintah kota Denmark bertanggung jawab untuk memilah 10 jenis sampah. Pun demikian, sampah limbah rumah tangga memiliki aturan persentase minimun terhadap setiap jenis sampah yang dihasilkan.Â
Dalam hal ini, pemerintah sepenuhnya bertanggung jawab untuk menentukan sampah sesuai jenis dan memastikan semua sampah ditempatkan dengan benar berdasarkan katagori. Sangat detil, bukan?
Sampah yang mengandung zat kimia dipisahkan pada tempat khusus untuk pengolahan khusus. Selain itu, pemerintah kota dibebankan tanggung jawab mengecek dan memastikan pengolahan sampah berjalan sebagaimana mestinya melalui inspeksi.Â
Untuk sampah bungkusan makanan yang dapat diolah, Denmark menfasilitasinya dengan peran The Danish deposit and return system (DRS). Namun, DRS tidak bertanggung jawab menampung gelas kaca. Setiap divisi yang dibentuk menjalani peran tersendiri dengan mengikuti panduan tertulis.
Siapkah Indonesia berbenah dalam hal manajemen sampah?
Semoga saja!Â
***
Penulis: Masykur
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H