Perkara sampah seakan tidak ada ujungnya. Masyarakat Indonesia belum sepenuhnya memahami etika penempatan sampah pada tempatnya.
Di wilayah tertentu khususnya di kawasan padat penduduk, tata kelola sampah masih berjalan di tempat. Banyak tulisan-tulisan pengingat bergantungan guna menghentikan perilaku buruk pembuang sampah sembarangan.
Membaca tulisan dengan sindiran halus sampai keras tidak menyurutkan niat pelaku. Bahkan, ada yang sengaja membuang di waktu-waktu tertentu agar tidak kelihatan warga.
Mulai dari Keluarga
Keluarga adalah gerbang utama ilmu tata kelola sampah. Seorang ayah perlu menyiapkan kurikulum tentang kebersihan. Dari sosok ayah, anak akan belajar mengenai sampah, lalu perlahan membangun pola pikir bagus berkaitan dengan sampah.
Anak bisa belajar hal kecil semisal memilah sampah dan menempatkannya pada wadah yang benar. Untuk itu, setiap rumah sewajarnya menyediakan dua jenis tong sampah: organik dan anorganik.Â
Kedua wadah sampah ini ditempatkan pada lokasi yang tepat. Sebagai contoh, sampah organik dari sisa limbah dapur diletakkan pada bagian luar dekat dapur, sementara sampah anorganik berupa plastik dan kertas diposisikan dalam rumah.Â
Jika setiap keluarga mau memilah sampah, sungguh petugas sampah tidak akan kewalahan. Memilah sampah untuk ditempatkan pada wadah yang benar semestinya diajarkan oleh orangtua pada anak.
Penggunaan sampah plastik dalam rumah tangga lebih baik ditinggalkan. Saat ini, limbah sampah plastik tidak hanya menyebabkan rusaknya unsur hara tanah, namun juga rusaknya biota laut.
Orangtua adalah tempat anak belajar tentang pola hidup sehat. Saat berbelanja, seorang ibu menjadi contoh teladan anak. Mereka melihat bagaimana cara orangtua berbelanja.Â