Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Pemerhati pendidikan dan pakar bahasa asing

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Aturan Baru Rokok, Akankah Indonesia Bebas Nikotin?

8 Oktober 2024   13:03 Diperbarui: 8 Oktober 2024   13:04 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi rokok via https://goodstats.id

Pemerintah ingin membatasi penjualan rokok dengan menekan konsumsi rokok di tingkat konsumen. Peraturan ini bakal membatasi rotasi rokok batangan di tingkat terkecil.

Tiga skenario ini meliputi (1)penjualan rokok tanpa merek, (2)larangan penjualan dalam radius 200 meter, dan (3)pembatasan iklan rokok.  

Hasil studi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyatakan, jika tiga skenario ini dijalankan bersamaan, maka negara bakal kehilangan keuntungan secara ekonomi 460 triliun lebih. 

Dengan aturan baru ini, para perokok harus bersiap menelan ludah. Apakah kemungkinan akan berjalan lancar? sepertinya tidak semudah yang dituliskan. 

Pemasukan negara dari rokok memang sangat besar. Jangan lupa juga membandingkan dengan pengeluaran negara berupa jaminan kesehatan karena efek rokok yang jumlahnya tidak kalah besar. 

Banyak penyakit bermuara pada kebiasaan merokok, terutama efek nikotin bagi tubuh. Asap rokok menimbulkan ragam penyakit. Alhasil, negara menanggung beban besar lewat jaminan kesehatan setiap tahunnya. 

Jadi, prediksi kehilangan 460 triliun terlalu dibesar-besarkan. Pada kenyataannya, banyak sumber penghasilan negara selain penjualan rokok dan pajak yang tidak seberapa.

Hanya saja, negara terlalu manja dan malas berpikir kreatif. Keuntungan negara selalu dikedepankan pada pajak. Akhirnya rakyat diperas dari segala aspek sumber penghasilan, tapi unsur kesejahteraan dibelakangkan. 

Indonesia adalah negara kepulauan dengan tanah yang subur. Dari aspek ketahanan pangan, Indonesia masuk katagori negara potensial dalam hal tata kelola tanah pertanian. 

Menteri Pertanian, Dr. Ir. Suswono, menjelaskan jika total luas tanah pertaniaan saat ini di seluruh Indonesia adalah 70 juta Ha. Namun dari itu, lahan produktif hanya 45 juta Ha. [baca disini]

Permasalahan utama ada pada peralihan lahan sawah menjadi lahan non pertanian. Penyusutan ini terjadi setiap tahunnya rata-rata sekitar 50-70 ribu Ha. Jumlah yang patut dianalisa dan dipikirkan bersama. 

Ditambah lagi jumlah petani muda semakin menurun dan petani berumur segera memasuki usia pensiun. Jika ini tidak dipikirkan dengan serius dan dicarikan jalan keluar, ketahanan pangan hanya omong kosong belaka. 

Sampai hari ini Indonesia masih impor beras. Apakah pemerintah tidak mampu mengelola lahan pertanian yang besar dan potensial?

Setiap tahunnya petani di Indonesia dihadapkan pada masalah yang sama, yakni kekurangan pupuk dan penurunan harga jual. Dua hal ini bahkan seperti dibiarkan tanpa program bermutu.

Bagaimana mungkin Indonesia keluar dari cangkangnya untuk merangkak menuju negara maju. Mengurus lahan pertanian saja masih amburadul dan maunya siap saji. 

Lahan food estate sampai detik ini belum memberi kabar bahagia. Lucunya lagi, kebijakan yang sudah dijalankan malah menimbulkan efek buruk pada lingkungan. Hal ini menunjukkan ketidakbecusan pemerintah untuk berbenah diri.

lahan food estate|sumber:https://kmmh.fkt.ugm.ac.id/
lahan food estate|sumber:https://kmmh.fkt.ugm.ac.id/

Tata kelola lahan pertanian semestinya serius dijalankan. Saya sangat yakin keuntungan dari hasil pertanian dapat menenggelamkan profit dari pajak rokok. Dengan syarat dikelola serius oleh orang yang benar melalui kebijakan yang tepat.

Sayangnya, kita sama sekali belum melihat itikad baik pemerintah untuk mengelola pertanian sebagai aset terbesar negara. Bandingkan dengan Thailand dan Vietnam yang kini menyandang predikat negara mandiri pangan. 

Pemerintah Thailand dan Vietnam paham cara mengelola negara. Kebijakan yang ditelurkan mempermudah tata kelola pertaniaan dan segala unsur yang terkait dengan kebutuhan dasar petani. 

Makanya, bibit mudah didapat, alat pertanian disubsidi pemerintah, harga jual terjamin. Wajar saja jumlah petani meningkat karena kesejahteraan terjamin dengan kebijakan yang memihak pada petani. 

Bagaimana dengan Indonesia?

Berapa harga jual bibit, bagaimana kualitas alat pertanian, berapa keuntungan dari harga jual?

Terlalu banyak yang harus dijawab. Yang jelas, pemerintah maunya untung besar. Petani disuruh tanam sendiri dan memikirkan hasil panen sendiri. Mana peran pemerintah dalam hal menstabilkan harga dan menjaga unsur hara tanah melalui ketersediaan pupuk terbaik?

Jangan cuma foto doang pas petani lagi panen! kalau itu, anak TK pun bisa!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun