Saya yakin sumber pendapatan asli Kompasiana bukan pada iklan. Jika demikian, sudah seharusnya iklan-iklan sampah dibersihkan agar penulis lebih leluasa bekreasi.Â
Bukankah Kompasiana bisa lebih kreatif untuk mendulang PAK? baca  Pendapatan Asli Kompasiana. Misalnya, dari 4.7 juta penulis, 5% nya dilatih serius untuk menjadi penulis handal. Kemudian pertahunnya, mereka menulis buku dengan sistem win win, yakni sama-sama diuntungkan.Â
Dengan begitu, pendapatan Kompasiana meningkat, jumlah penulis bertambah dan tak kalah penting, literasi Indonesia bisa didongkrak perlahan namun pasti.
Anggaplah saja Kompasiana ini sebuah provinsi yang penduduknya belum semua sejahtera. Atau, mungkin 90% masuk katagori lower class family.
Memanjakan penduduk dengan hadiah dan rewards tentu boleh-boleh saja. Akan tetapi, menciptakan ekosistem ke arah berkelanjutan jauh lebih baik. Contohnya melalui kaderisasi dan pelatihan kepenulisan dengan tema terstruktur.Â
Koleksi perpustakaan daerah, jika dibanding rasio penduduk Indonesia, maka angkanya adalah 1:90. Maknanya, 1 buku diantri oleh 90 orang [data perpustakaan Nasional 2022]. Sungguh menyedihkan!
Kita ambil contoh pembanding. Sumatera Utara (SUMUT) memiliki populasi 15.3 juta. Dengan populasi sebesar ini, buku yang diterbitkan hanya rata-rata 151 buku per tahun dengan entitas penerbit tercatat  sebanyak 908 [data Ikatan Penerbit Indonesia]. lihat tabel di bawah ini:
Sekarang, silahkan bandingkan dengan jumlah penduduk Jakarta dengan populasi 11.3 juta. Entitas penerbit sejumlah 7588 dan rata-rata buku yang diterbitkan adalah 1265 per tahunnya.Â
Disini kita bisa melihat gap besar antara penerbit dan jumlah buku yang dihasilkan. Jumlah penduduk yang besar berbanding dengan jumlah buku yang diproduksi. Kenyataan pahit yang patut direnungkan dan dicarikan solusi.
CEOWORLD Magazine mencatat Indonesia pada urutan ke 31 negara dengan katagori jumlah pembaca di dunia. Rata-rata penduduk Indonesia hanya membaca 5,9 buku per tahun. Saya yakin mereka menfitnah, sungguh keji!!!