Earl Tupper adalah seorang pebisnis asal Amerika. Ia dikenal sebagai penemu Tupperware pada tahun 1946. Produk Tupperware menjadi primadona selama beberapa dekade. Sayangnya, kini tumbang digilas zaman.Â
Ada beberapa alasan yang patut menjadi renungan bagi pebisnis. Kejatuhan Tupperware bukan tanpa sebab. Produk besar dan sudah dikenal luas di seluruh dunia bisa tumbang.Â
Pengembangan Produk
Satu alasan kenapa Tupperware jatuh ditenggarai karena ketidakmampuan mengembangkan produk dengan variasi warna. Selain itu, dinamika penjualan melalui jalur online telah membuka pasar baru pada produk besutan pebisnis lain.Â
Tupperware terlalu lama bersenang-senang dan lengah mengikuti perkembangan zaman. Sama halnya seperti Nokia yang terlambat mengikuti keinginan konsumen seiring berubahnya selera.
Setiap zaman, keinginan dan hasrat pembeli berubah. Ketika informasi semakin mudah merambat dan gaya hidup meningkat, modifikasi produk mutlak dilakukan.Â
Selera konsumen tidak selamanya sama. Kadangkala sebuah produk bertahan lama dengan varian yang sama, di lain waktu kebutuhan bergeser sebagaimana berubahnya tren hidup.
Kehadiran produk sejenis Tupperware dengan harga murah berhasil merusak pasar. Mungkin saja Tupperware menganggap sepele karena mereka adalah pemain lama.Â
Harga lebih murah dan varian berbeda menyentuh hati konsumen. Mereka berubah haluan dan mulai melirik pemain baru.Â
Harga Produksi Naik
Saat Covid-19 melanda dunia, pola hidup ikut berubah. Jutaan orang menetap di rumah untuk kembali memasak. Tupperware kehilangan keseimbangan karena merosotnya angka penjualan.
Pandemi tidak hanya merubah tren hidup, namun juga hampir menenggelamkan kebiasaan berinteraksi. Tupperware ingin bangkit paska pandemi, namun biaya operasional dan bahan baku naik. Kedua hal ini menjadi titik awal keruntuhan Tupperware.
Besar kemungkinan Tupperware gagal melihat perubahan dunia dan tidak mengantisipasi lebih awal. Naiknya harga produksi menjadi dilema bagi perusahaan, antara menaikkan harga produk atau memangkas biaya operasional. Keduanya tentu bukan solusi yang baik.Â