Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Segelas Kopi dan Amarah yang Membelenggu

9 Mei 2024   12:10 Diperbarui: 9 Mei 2024   12:18 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Segelas kopi | Freepik.com

Tiba di sebuah warung kopi (warkop), saya memesan secangkir kopi berpadukan susu kental manis. Beberapa menit kemudian pesanan tiba di atas meja.

Tanpa menunggu lama, saya segera mencicipinya agar panasnya kopi terasa di lidah. Ah, rasanya kurang pas! sangat manis dan tidak terlalu hangat. 

Saya mulai merasa kesal. Apa solusinya agar rasa kopi tidak terlalu manis dan airnya bisa sedikit lebih hangat. Pikir saya sejenak menanti solusi. Mau marah pun tidak ada makna.

Ah, saya melanjutkan beberapa tegukan, lalu mengangkat gelas ke tempat peracikan kopi. 

"Bang, tolong tambahkan air panas sedikit, rasanya terlalu manis". Ucap saya meminta barista untuk menambahkan air ke gelas. 

"Baik, bang. oh terlalu manis ya" jawabnya singkat. 

Air panas mendarat ke dalam gelas, rasa kopi mulai pas di lidah. Tidak terlalu manis dan hangat di kerongkongan. 

Sejenak, saya mulai berpikir. Jika rasa kesal saya di awal terbawa ke perasaan, pasti efeknya berbeda pada tubuh. Boleh jadi, sampai ke rumah pun pikiran saya masih terbayang rasa kopi yang kurang pas di lidah.

Padahal, dengan mengangkat gelas dan meminta tambahan air panas, saya bisa merubah segalanya dalam sekejap. Kalau ego saya melebihi gengsi, boleh jadi rasa kesal itu meluas ke lain hal.

Fokus pada solusi  

Kita seringkali menilai masalah sebagai sumber musibah. Fokus pikiran menyita energi tubuh tanpa solusi berarti. Masalah kecil melebar kemana-mana karena fokus pikiran bukan untuk mencari solusi. 

kalau saja kita mampu menfokuskan pikiran pada solusi, maka hampir semua hal bisa kita selesaikan tanpa emosi. Namun, pada kenyataannya, navigasi pikiran pada solusi tidaklah mudah.

Kebiasaan kita sehari-hari menanggapi masalah memberi gambaran akan pola pikir. Apakah kita condong mengedepankan emosi atau mampu mengarahkan pikiran untuk mencari solusi. 

Ketika mengajar di dalam kelas, saya juga kerapkali memperhatikan cara berpikir siswa. Mereka acapkali fokus pada sesuatu yang sulit, sehingga proses belajar menjadi lebih rumit.

Misalnya, ketika diminta membuat contoh dalam bahasa Inggris, rata-rata siswa mencari kalimat rumit. Sebaliknya, contoh-contoh simpel yang bisa didapat dari dalam ruangan terabaikan. 

Pikiran adalah gerbang tindakan bagi manusia. Mereka yang terbiasa dengan pikiran negatif akan terbawa ke dalam kecerobohan ketika mengambil tindakan.

Perilaku seseorang erat kaitannya dengan pola pikir. Emosi tidak muncul seketika melainkan akumulasi dari pikiran negatif. Berteman dengan orang-orang negatif sama halnya membiarkan racun masuk ke dalam tubuh perlahan.

Pun demikian, Seorang guru dengan pola pikir positif jauh lebih bermakna bagi siswa dibandingkan sepuluh guru berpikiran negatif.

Guru dengan pikiran positif bukan hanya sebagai media transfer ilmu ke dalam otak siswa, tapi juga mampu mengubah pola pikir dan perilaku mereka.

***

[Masykur] 

9 Mai, 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun