Pagi ini saya menemani anak mengikuti Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Entah mengapa frasa PPDB seperti kurang sreg di telinga saya. Tidak seperti jaman dulu yang lebih ringkas dan mudah melekat di memori.
Pengalaman mendaftarkan anak di beberapa sekolah secara tidak langsung memberi kesempatan bagi saya untuk mengobservasi sistem seleksi yang diberlakukan beberapa sekolah.
Secara garis besar, PPDB berjalan lancar walau pada prakteknya ada beberapa kendala yang penting untuk dievaluasi oleh panitia seleksi.
Sistem Pendaftaran Online
Sistem pendaftaran online sangat mempermudah orang tua. Dengan pola mendaftar langsung via website, setidaknya orang tua bisa menghemat uang bensin dan waktu sekaligus.
Namun, ada hal yang juga perlu diperhatikan secara cermat. Dari pengalaman mendaftarkan anak via online, saya mengalami kendala kecil tapi penting untuk menjadi bahan evaluasi panitia seleksi.
Ketika saya mencoba mendaftarkan anak, semua berjalan lancar pada awalnya. Namun, pada saat data dikirim (submit), tidak ada balasan yang saya dapat. Sehingga, konfirmasi dari email tidak kunjung datang.
Beruntung, saya mengambil inisiatif untuk membuka Instagram (IG) sekolah bersangkutan. Ternyata, masalah yang sama dihadapi beberapa orang tua calon murid.
Saya mencoba mengomentari sebuah status dengan menuliskan kendala serupa, yaitu belum mendapat bukti pendaftaran berupa nomor pendaftaran.
Baru kemudian komentar saya ditanggapi dengan arahan menghubungi nomer operator sekolah. Tidak menunggu lama, saya langsung menghubungi nomor tersebut dan akhirnya nomor pendaftaran dikirimkan.
Ah, lega rasanya! kalau saja saya membiarkan, kesempatan untuk 'bertarung' mendapatkan satu kursi hilang sia-sia. Padahal, semua berkas sudah saya lampirkan via online.
Jadi, registrasi via website memang sangat membantu mempermudah sistem pendaftaran, namun pihak panitia seleksi juga perlu mengantisipasi jika terjadi error seperti yang saya dan orang tua calon siswa lain hadapi saat mendaftar.
Uniknya, Hal serupa juga terjadi pada sekolah lain. Bedanya, sekolah tersebut sudah memberikan link untuk bergabung ke grup WA. Sehingga, orang tua yang gagal memperoleh kartu nomor peserta tes bisa langsung mengutarakan via grup WA.
Sekilas pengamatan, pola pendaftaran online memang bertujuan mempermudah calon peserta didik dan orang tua. Era digital jelas membantu mempersingkat alur pendaftaran, praktis dan efektif.
Paperless
Saya sangat mengapresiasi salah satu sekolah yang memberlakukan verifikasi online tanpa harus mengumpulkan berkas fotokopi. Cara ini jelas sangat praktis memangkas waktu pendaftaran dan sekaligus ramah lingkungan. No trash, no cash!
Alasan panitia sekolah sangat simpel, yakni sistem paperless. Maknanya, verifikasi berkas baru diberlakukan saat calon peserta didik sudah keterima. It's a good idea!
Langkah seperti ini perlu ditiru oleh sekolah lain. Sistem PPDB memang seharusnya paperless dan kalau perlu sampai tahap verifikasi tidak perlu disyaratkan fotokopi. Cukup bawa dokumen asli untuk kemudian dicek kembali.
Sekolah yang masih mensyaratkan fotokopi kartu keluarga (KK) dan Akta Kelahiran (AK) perlu meniadakan syarat foto kopi berkas. Kenapa? karena dengan pendaftaran via online, cukup meng-upload dokumen asli saja.
Jadinya, orang tua calon peserta didik tidak dibuat repot dan panitia sekolah pun mudah memverifikasi dokumen di kemudian hari tanpa harus berada di sekolah.
Dengan begitu, penggunaan kertas benar-benar dihilangkan dan terasa jauh lebih mudah serta ramah lingkungan. Toh, sistem pengumpulan dokumen kertas hanya berakhir sebagai sampah.
Alokasi Waktu Tes
Nah, alokasi waktu tes per siswa antar sekolah sangat bervariasi. Ada sekolah yang sangat terorganisir pola tesnya. Waktu antri verifikasi berkas berjalan cepat, waktu tes calon peserta didik tidak menyita waktu dan energi.
Meskipun demikian, ada sekolah yang tidak mengantisipasi ini. Alhasil, alokasi waktu ujian per siswa cukup menyita waktu. Orang tua 'terpaksa' menunggu begitu lama dan banyak calon peserta didik terlihat kelelahan karena lama mengantri.
Sebenarnya, secara pengamatan saya, ini hanya masalah manajemen waktu saja. Jika panitia PPDB memperhitungkan waktu dengan cermat, alokasi waktu per siswa bisa disesuaikan.
Sayangnya, yang terjadi di lapangan tidak demikian. Orang tua calon peserta didik banyak yang mengeluh karena harus menunggu lama di beberapa sekolah.
Ada anak yang menangis dan ada yang 'kehilangan' orang tua karena terlalu lama mengantri sebelum masuk ruang tes.
Ya, mekanisme tes kembali kepada pihak panitia sekolah. Beda sekolah beda mekanismenya. Namun dari itu, alokasi ujian per siswa mesti diberlakukan sama agar pola tes juga mengakomodir tujuan dari tes.
Setiap siswa terlepas dari mana berasal atau latar belakang orang tua berhak mendapat waktu tes yang sama. Faktor kelelahan jelas membawa dampak negatif bagi calon peserta didik.
Semestinya dengan peran teknologi, mekanisme tes bisa didesain simpel. Komunikasi antara pihak panitia tes dan orang tua calon peserta didik via sosial media seperti grup WA mudah dilakukan.
Dengan begitu, calon peserta didik cukup datang pada jam yang sudah ditetapkan panitia dan tidak harus menunggu lama dipanggil ketika sudah berada di lokasi tes.
Orang tua pun bisa lega menemani anak tanpa harus risau menunggu lama. Disisi lain, pihak sekolah lebih mudah menfasilitasi tes saat berlangsung, meniminalkan kerumunan orang tua, dan meringankan tugas para guru yang bertanggung jawab mengakomodir tes.
Sebagai penutup, tulisan ini hanya sekedar sebagai sebuah refleksi dari calon orang tua peserta didik yang kebetulan menemani anak mengikuti prosesi tes.
Saya sangat mengapresiasi kerja keras panitia tes selama ujian berlangsung. Segala sesuatu pasti ada sisi positif dan negatif. Saya yakin, semua kita berusaha untuk terus menghadirkan kemudahan bagi calon peserta didik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI