"segera pasang dinamit dan sambungkan sumbunya" desak Adam pada tim evakuasi.
Kardi yang sedang berjuang di bawah tanah terus berharap pada tim penyelamat. Tiga pekerja telah meninggal karena stok makanan habis, sedangkan sisa air sangat terbatas.
"Assalamu'alikum, Annisa istriku tercinta"
Kardi mengambil buku catatan kecil di saku baju kerjanya. Ia selalu membawa buku kecil itu untuk menuliskan apa saja yang dilakukan di pertambangan.
Mengandalkan cahaya senter yang mulai meredup, ia perlahan menulis sebuah wasiat terakhir untuk istri dan calon buah hatinya.
"Mungkin hari ini terakhir aku bisa membayangkan wajahmu. Ijinkan aku menulis surat ini. Jika engkau sedang membaca suratku, aku pasti telah terkubur kaku dalam tanah. Tiga hari lagi aku akan pulang, aku sudah tidak sabar untuk mengelus perutmu"
Gelap dan sunyi. Dua kata untuk mendeskripsikan apa yang dirasakan Kardi dan pekerja yang sedang berjuang keluar.
Sisa waktu tidak banyak, kadar oksigen menurun. Air hujan mulai merembes melalui bebatuan permukaan dinding gua tambang.
"Bagaimana kabar anak kita? aku semakin sekarat, waktuku mungkin tidak lama. NAISA. Apakah nama ini terdengar bagus di telingamu" Kardi mencoba melanjutkan wasiatnya.
Ketika berada di pertambangan, Kardi sangat dekat dengan seorang mandor. Karena rajin dan dianggap jujur, ia mendapat kepercayaan khusus dari mandor pertambangan.