Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kurikulum Merdeka atau Guru Merdeka?

18 Januari 2024   12:36 Diperbarui: 18 Januari 2024   15:28 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kurikulum Merdeka|freepik.com

Kurikulum merdeka memberi kebebasan pada guru untuk memodifikasi bahan ajar sesuai kebutuhan murid. Dengan implementasi kurikulum merdeka, guru lebih leluasa untuk mengajar. 

Namun, benarkah guru lebih terarah ketika menggunakan kurikulum merdeka?

Karakteristik kurikulum merdeka

kurikulum merdeka|sumber:Kemendikbud.go.id
kurikulum merdeka|sumber:Kemendikbud.go.id
Jika merujuk pada bagan karakteristik kurikulum merdeka, ada tiga aspek yang dikedepankan: pengembangan soft skills, materi esessial, dan pembelajaran yang fleksibel. 

Ketiga aspek ini pada dasarnya menjadi kerangka sebuah kurikulum. Pada prinsipnya, pengembangan soft skills dan karakter sangat krusial bagi murid sekolah.

implementasi kurikulum merdeka|Kemendikbud.go.id
implementasi kurikulum merdeka|Kemendikbud.go.id

Perbedaan geografis setiap daerah, karakter siswa, dan latar belakang budaya memberi warna berbeda pada institusi pendidikan. Merdeka secara kurikulum belum tentu menawarkan merdeka belajar pada setiap sekolah.

Soft skills dan karakter siswa di setiap daerah jelas beragam. Jika benar kurikulum merdeka menfasilitasi keberagaman, maka fokus pada pengembangan skil semestinya tidak harus sama antar sekolah. 

Misalnya, daerah dengan dominasi area laut membutuhkan soft skill berbeda dibandingkan kawasan perkebunan atau persawahan. Jika siswa pada dua area berbeda belajar skil yang sama, apakah mereka sudah merdeka belajar?

Lalu, ketika berbicara tentang materi esensial, bagaimana standar indikator materi esensial? kalau siswa diharapkan untuk belajar hal yang sama, sementara kebutuhan lapangan kerja berbeda antar wilayah, apakah layak disebut merdeka belajar?

Maksudnya begini. Pada poin materi esensial, disebutkan dua kata kunci, yaitu kreativitas dan inovasi. Nah, siswa diharapkan fokus pada materi yang benar-benar dibutuhkan untuk memancing kreativitas dan inovasi dalam proses pembelajaran.

Proses belajar yang menitikberatkan hadirnya inovasi tentu saja sangat baik. Namun demikian, siapkah setiap guru mempersiapkan materi yang benar-benar dibutuhkan siswa?

Di lapangan, kita masih melihat guru kalangkabut dengan hal administrasi. Artinya, guru belum sepenuhnya merdeka. Walaupun kurikulum sudah merdeka, guru masih 'terjajah' oleh laporan ini dan itu.

Lantas, bagaimana guru bisa memancing kreativitas siswa dan menghasilkan sebuah inovasi dalam proses pembelajaran? ini bukan hal mudah dan dipeerlukan konsep yang matang.

Dalam hal pembelajaran, guru diberi keleluasaan untuk mendesain pembelajaran yang fleksibel. Maknanya, proses belajar diarahkan pada target capaian dan perkembangan masing-masing peserta didik. 

Lagi-lagi, aspek psikologis dan geografis memiliki peran penting berkaitan dengan perkembangan peserta didik. Siswa dengan latar belakang broken home membutuhkan waktu belajar lebih lama ketimbang siswa yang berasal dari keluarga baik-baik. 

Mendesain pembelajaran yang sesuai dengan pertimbangan perkembangan peserta didik bukan perkara gampang. Bahkan, di banyak sekolah, hanya sebagian kecil saja guru yang memahami latar belakang siswa secara utuh.

Dalam artian, kurikulum merdeka secara teori baik, tapi dalam aplikasi lain cerita. Guru-guru masih terpenjara dalam pola pikir lama tentang acuan target pembelajaran.

Tidak heran, walau angka tidak lagi menjadi rujukan untuk menggambarkan kemampuan siswa, toh syarat masuk sekolah masih merujuk pada nilai-nilai yang fokus pada angka. 

Seharusnya, jika kreativitas dan inovasi yang diprioritaskan, proses penerimaan siswa berstandar pada kreativitas individu. Pertanyaan selanjutnya, sudah mampukah guru mengukur kreativitas dan menghadirkan proses pembelajaran bertitik pada inovasi?

SULIT!

Jadi, kurikulum memang sudah merdeka, tapi guru belum sepenuhnya merdeka. Mereka masih terkekang selama sertifikat dijadikan ukuran perkembangan skil mengajar dan administrasi menjadi tolak ukur kemajuan. 

Kalau standar guru berkualitas didasarkan pada tumpukan sertifikat, maka semakin bertabur workshop dan pelatihan. Faktanya, sertifikat hasil pelatihan diperlukan untuk naik pangkat, dll. 

Bagaimana dengan kualitas mengajar guru, adakah perubahan? jika ada, bagaimana standar pengukurannya?

Inovasi dan kreatifitas dalam kelas sulit terjadi jika guru masih sibuk mecari sertifikat di luar kelas. Oleh karenanya, kurikulum yang berubah tidak menjamin kualitas mengajar. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun