Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A devoted researcher with regards to foreign languages, memory, and cognitive function

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Debat Capres Ketiga, Analisa Kata dalam Bahasa

8 Januari 2024   10:20 Diperbarui: 8 Januari 2024   10:28 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Debat capres ketiga.Sumber: Tangkap layar Youtube Najwa Shihab

Debat capres ketiga terlihat lebih baik. Saya menikmati argumen yang diberikan oleh setiap capres. Satu hal yang paling menonjol adalah penggunaan kata dan pengulangan frasa yang sama oleh ketiga capres. 

Oleh karenanya, saya ingin mencoba menganalisa debat capres ketiga dari sudut pandang bahasa. Dalam ilmu bahasa, kata-kata yang sering diulang memberi makna mendalam. 

Seseorang bisa dianalisa kepribadiannya dari kata-kata yang keluar dari mulutnya. Pada hakikatnya, bahasa yang telah kita kuasai dengan baik bukan hanya sekedar alat komunikasi, namun juga akurat untuk  menginterpretasi kepribadian.

Prabowo dan Anies terlihat saling menyerang. Argumen yang keluar dari keduanya terkesan menyudutkan satu sama lain. Posisi ganjar di tengah cukup memberi jarak sebagai penengah. 

Topik hutang dan pertahanan dalam negeri membuat debat capres ketiga memanas. Anies dan Prabowo punya standar angka tersendiri akan rasio hutang. Prabowo memberikan angka 40%, sedangkan Anies 30%.

Anies tidak menyetujui jika hutang digunakan untuk membeli Alat utama sistem  senjata (Alutsista) bekas. Alasannya, ada nyawa prajurit yang dipertaruhkan. Kenapa tidak dipakai untuk kesejahteraan prajurit, seperti membangun rumah dinas dan menaikkan gaji setiap tahun.

Bagi Anies, hutang sebaiknya digunakan untuk hal produktif. Intinya, berhutang boleh, namun jangan dialokasikan untuk sesuatu yang tidak produktif. Apalagi alustsista bekas membutuhkan biaya operasional yang tidak sedikit dan resiko lebih besar.

Prabowo tetap bersikukuh jika pengadaan alutsista sudah sesuai prosedur. Semua sesuai standar usia pakai dan masih layak. Itu pendapat prabowo. Anies dianggap tidak paham masalah pertahanan dan tidak layak memberi pendapat.

Bagaimana dengan Ganjar?

Pada dasarnya, Ganjar setuju akan hutang untuk memperkuat sisi pertahanan dalam negeri. Akan tetapi, ia juga sependapat jika membeli alutsista bekas bukan pilahan yang baik. "Pertahanan Sakral", begitu ujar Ganjar.

Kata dan Makna

  • Prabowo condong mengedepankan frasa "dihormati dunia", "kekuatan", "hilirisasi", "menyesatkan", dan "rencana".

  • Anies sering menggunakan kata "menata", "memimpin", "melibatkan", membangun", "memperbesar", dan 'menaikkan".

  • Ganjar identik dengan kata "menghindari", "meredam", "mendorong", "menciptakan", dan "menfasilitasi".

Semua kata-kata ini memiliki makna jika dicermati lebih dalam. Kita bisa melihat mana capres yang lebih mengedepankan rakyat dan memahami visi yang ingin dicapai. 

Pemilihan kata tidak bisa menipu. Kata-kata yang keluar dari mulut mewaliki kepribadian seseorang. Jika tidak percaya, lihatlah rekam jejak kepemimpinan dari ketiga capres ini dan kaitkan dengan kata-kata yang sering diucapkan.

Secara pribadi, saya menilai Prabowo tidak menjawa pertanyaan dengan baik. Baik pertanyaan dari Ganjar ataupun Anies sering berakhir pada jawaban umum yang keluar dari esensi pertanyaan.

Debat capres ketiga.Sumber: Tangkap layar Youtube Najwa Shihab
Debat capres ketiga.Sumber: Tangkap layar Youtube Najwa Shihab

Bahkan, pertanyaan yang menjurus pada angka statistik tidak perah diugkapkan. Prabowo berkilah jika waktu tidak cukup jika harus dipaparkan dalam waktu singkat. Itu benar, tapi tidak tepat. 

Jika memang bapak Prabowo menguasai angka sebagai fakta, ia sudah menyampaikannya secara gamblang. Tapi kedua capres lain mendorongnya untuk memaparkan langsung, namun ditolak dengan alasan waktu.

Prabowo jelas terlihat emosi saat beberapa kali menjawab pertanyaan dari Anies. Terlebih ketika dicecar dengan pertanyaan yang mengarah pada kepemimpinannya sebagai Menteri Pertahanan selama empat tahun.

Anies berpendapat jika Prabowo tidak sewajarnya memakai kata "rencana" karena ia sudah memimpin. Seharusnya Prabowo bisa memaparkan kinerja selama empat tahun sebelumya, tapi sama sekali tidak dipaparkan. 

Ganjar memang pantas menjadi penengah. Sayangnya, ia juga mulai menyerang Prabowo dengan meminta angka statistik dan memberi kesempatan pada Prabowo untuk membantah data yang diungkapnya. 

Kata-kata yang gunakan Ganjar mengarah pada penyempurnaan. Ganjar lebih setuju menghindari konflik atau meredamnya. Mungkin itu pilihan baik, namun tidak berarti tepat.

Ketika dihadapkan pada isu laut Cina selatan, ketiga capres memiliki visi berbeda. Anies ingin memimpin Asean agar kiprah internasional diakui dunia, Prabowo bersikukuh pada pengadaan alutsista untuk kekuatan pertahanan.

Ganjar memilih untuk memperketat pengawalan laut dengan alutsista buatan dalam negeri. Anggaran pertahanan bisa diperkecil dengan alokasi dana lebih tepat sasaran.

Globalisasi Budaya

Pertumbuhan ekonomi melalui budaya belum maksimal. Upaya pemerintah untuk mengenalkan budaya Indonesia ke seluruh dunia belum cukup memperbaiki keadaan APBN Indonesia. 

Ganjar menawarkan ide Viralisme sebagai senjata untuk mendorong budaya Indonesia secara masif. Duta besar harus didorong untuk menfasilitasi segala hal berkaitan dengan budaya. 

Anies memberi gagasan untuk membangun rumah budaya di setiap negara, termasuk kafe, restauran  dan rumah kuliner yang jumlahnya harus ditingkatkan/diperbanyak. 

Debat capres ketiga.Sumber: Tangkap layar Youtube Najwa Shihab
Debat capres ketiga.Sumber: Tangkap layar Youtube Najwa Shihab

Prabowo menekankan ketersediaan dana, ia berpendapat bahwa membangun harus punya dana cukup secara neraca perdagangan. Disini, Prabowo memaparkan ide hilirisasi, penghematan dan penguatan pajak. 

Sangat disayangkan, Prabowo tidak memberi gagasan berupa cara dan mekanisme menduniakan budaya Indonesia. Jawabannya tidak mengarah pada solusi tapi lebih pada kondisi. 

Dari ketiganya, kita belajar kata-kata mana yang lebih bermakna. Ide boleh beda, tapi cara eksekusi harus pasti. Ide Anies cukup masuk akal untuk membangun budaya secara sustainable dalam jangka waktu puluhan tahun kedepan.

Ide viralisme bagus. Namun demikian, setiap gagasan harus juga mempertimbangkan sejauh mana akan bertahan. Harus diakui, menviralkan sesuatu tidak bertahan lama dan tidak memberi solusi aplikatif. 

Berbicara budaya secara global, Indonesia membutuhkan capres yang lebih visioner secara implementasi ide dan melibatkan orang-orang sefrekuensi. Bukan sebatas memaparkan ide, lalu hilang dalam janji masa lalu. 

Singkatnya, debat capres ketiga sudah cukup memberi gambaran siapa yang lebih menguasai topik dan layak untuk memimpin. Kata-kata tidak sama seperti janji yang bisa direkayasa atau dipersiapkan oleh masa, kata-kata dan frasa memberi gambaran perasaan dan yang lebih penting tidak baperan.

Dan... satu lagi, sebenarnya ada satu hal lagi yang bisa dianalisa, yaitu bahasa non-verbal. Saya pernah mengambil mata kuliah berkenaan dengan analisa bahasa tubuh, tapi saya akan menuliskannya di lain waktu.

Cukup sekian saja!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun