Indonesia menduduki peringkat kelima negara dengan pengguna smartphone terbanyak. Cina, India, dan Tiongkok berada di urutaan teratas.Â
Diprediksi ada 6.5 milyar smartphone di seluruh dunia dengan latar belakang pengguna didominasi oleh kaum remaja. Jumlah yang sangat besar, bukan?
Nah, di Indonesia, hampir setiap orang memiliki smartphone. Para remaja dan anak usia menjadi target empuk pasar smartphone dengan merek paling murah sampai termahal sekalipun.Â
Keberadaan smartphone juga tanpa kita sadari membuka ruang diskusi tanpa sekat. Semua orang dari berbagai negara sangat mudah berkomunikasi di dunia maya. Hal ini tentunya mustahil dilakukan tanpa koneksi internet yang terhubung ke smartphone.Â
Akses informasi yang kian membludak memberi dampak negatif bagi remaja. Banyak yang menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk mengikuti arus informasi dari video-video pendek yang didesan dengan algoritma menyesuaikan minat penonton.
Anak dan Smartphone
Dalam keluarga, peran smartphone bahkan sudah dapat menggantikan babysitter atau pengasuh. Setidaknya, begitulah yang terpampang di kebanyakan keluarga. Anak memiliki akses penuh pada smartphone dan bebas menonton berjam-jam.Â
Sekilas tidak ada masalah besar. Anak terlihat lebih tenang sambil menikmati video-video kesukaan mereka. Orang tua juga dapat lebih leluasa melakukan pekerjaan mereka atau menikmati waktu luang tanpa repot mengurus anak.
Tapi, konsekuensi yang harus diterima sebenarnya lebih besar dari kenikmatan sesaat menonton video. Anak-anak yang diberikan smartphone lebih sulit mengontrol diri dan gampang marah ketika permintaan mereka tidak dituruti.Â
Hormon endorphine yang terpicu keluar saat anak menikmati tontonan memberi rasa senang. Ketika anak terus menerus aktif melihat tontotan, maka hormon ini terus diproduksi pada taraf yang tidak wajar.Â
Akibatnya, rasa senang yang muncul berlebihan membuat anak terbiasa untuk berada pada kondisi menyenangkan. Apa yang terjadi saat orang tua menghentikan tontotan anak? mereka akan marah!
Jika anak terbiasa menghabiskan waktu berselancar di media sosial, hormon endorphine tidak lagi diproduksi secara alami. Hal ini membuat anak tidak mudah merasa senang ketika melakukan aktivitas lain.
Tidak heran, anak-anak saat ini lebih sulit untuk diajak beraktivitas di luar. Rasa nyaman yang sudah terlanjur muncul di otak memberi rasa puas ketika berinteraksi dengan smartphone.Â
Perasaan nyaman yang diterima anak saat memegang smartphone sejatinya seperti fatamorgana. Terlihat meyakinkan, tapi nyatanya ilusi semata.  Semakin dikejar, semakin tidak jelas kemana akhirnya.Â
Penggunaan smartphone pada anak juga berdampak pada regulasi emosi dalam jangka panjang. Anak lebih sulit mengontrol diri saat tidak diberi akses smartphone.Â
Kondisi seperti ini bukan hanya memberi efek buruk pada tumbuh kembang anak, tapi juga berpengaruh pada kepribadian dan rasa percaya diri anak.
Terlebih anak yang berada pada fase 1-5 tahun, peran aktif orang tua berkomunikasi dan berinteraksi langsung jauh lebih dibutuhkan anak agar otak mereka berkembang dengan baik.Â
Tumbuh kembang anak dalam lingkungan smartphone memberi dampak negatif pada otak. Selain kemampuan memori yang buruk, anak dengan paparan smartphone berlebih memiliki masalah belajar di kemudian hari.Â
Untuk melatih fokus dan konsentrasi secara alami, otak perlu merekam pengalaman yang terjadi dengan dua proses, yaitu interaksi dan komunikasi. Dua proses ini tentu saja membutuhkan andil orang tua.
Keberadaan orang tua di samping anak, khususnya pada umur 1-3 tahun, menciptakan koneksi terbaik di dalam otak. Peran orang tua mengajak anak berbicara dari sejak anak lahir dan membersamai mereka adalah kunci menciptakan memori terbaik pada otak anak.Â
Berbeda ketika anak dibiarkan memegang smartphone sejak umur satu tahun, kemampuan fokus anak tidak terbentuk dengan baik. Apalagi saat anak bebas membuka video-video dari Youtube, maka konsekuensinya adalah buruknya kosentrasi anak ketika mulai beranjak dewasa.Â
Hormon endorphine sangat baik untuk tubuh. Rasa bahagia dan senang adalah obat untuk segala penyakit. Meskipun demikian, rasa senang yang muncul karena pemicu dari smartphone memberi dampak berbeda pada otak.
"Smartphones have provided us with a virtually unlimited supply of social stimuli, both positive and negative. Every notification, whether it's a text message, a "like" on Instagram, or a Facebook notification, has the potential to be a positive social stimulus and dopamine influx."Â [baca disini]
Studi dari universitas Harvard di Amerika menyebutkan bahwa paparan smartphone memicu keluarnya hormon endorphine layaknya ketika orang berinteraksi dengan teman.
Stimulus yang muncul menghasilkan rasa senang, baik itu dari notifikasi media sosial sejenis Facebook, Instagram, WA, dll. Saat keluar berlebihan, rasa senang ini memberi kesan berbeda pada otak.
Makanya, anak-anak remaja yang sudah terbiasan dengan smartphone akan meresa sulit untuk berinteraksi secara langsung. Bahkan, ketika diajak berkujung ke rumah teman orang tua, mereka lebih memilih untuk tidak ikut.Â
Jika pun mereka mau ikut, tangan mereka terasa gatal untuk tidak mengakses smartphone walau hanya beberapa menit saja. Rasanya tidak sah jika belum mengecek notifikasi dari media sosial.
"Because most social media platforms are free, they rely on revenue from advertisers to make a profit. This system works for everyone involved at first glance, but it has created an arms race for your attention and time. Ultimately, the winners of this arms race will be those who best use their product to exploit the features of the brain's reward systems."
Media sosial sengaja dibuat gratis bukan tanpa alasan. Mereka ingin mengambil waktu berharga banyak orang. Tidak ada makan siang gratis. Konsekuensi menggunakan produk gratis adalah kehilangan waktu dan yang paling buruk adalah mereka menguasai otak banyak orang.Â
Para pemilik media sosial tahu betul bagaimana cara kerja otak manusia dan bagaimana mendapatkan keuntungan dari kelemahan manusia. Negara dengan pengguna smartphone terbanyak menjadi pasar iklan untuk berbagaimacam produk.Â
Tiongkok termasuk negara yang cerdik. Mereka memiliki media sosial sendiri yang bisa dikontrol oleh pemerintah. Dengan cara ini, Tiongkok bisa menfilter apa saja yang tidak baik untuk kepentingan negara sendiri.
Bukankah made in China bertebaran dimana saja di dunia? Tiongkok bukan hanya lihai dalam hal teknologi, bahkan mereka sudah jauh mengungguli Amerika dalam hal apapun.
Lantas, bagaimana dengan mayoritas remaja Indonesia? seberapa banyak waktu terbuang percuma di depan smartphone?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H