Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Makna Hidup dari Penjual Buah Keliling

22 November 2023   12:08 Diperbarui: 22 November 2023   12:12 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penjual buah keliling | freepik

Beberapa kali mampir untuk membeli buah di sebuah sudut jalan, saya banyak belajar tentang makna kesederhanaan dan hakikat rejeki. Pedagang buah keliling yang saya tuliskan ini adalah pribadi yang baik dan ramah.

Setiap awal pagi ia sudah keluar rumah untuk belanja buah di sebuah pasar pinggiran kota. Dengan memakai motor tua yang sudah dimodifikasi dengan rak buah menempel disamping, ia hampir tidak pernah absen berjualan buah di sudut kota.

Pembeli yang mampir juga beragam, dari sesama penjual, abdi negara, bahkan tentara. Buah yang ia jual termasuk besar dari segi ukuran. Harganya sangat murah, dua ribu untuk sepotong buah dan lima ribu untuk lima potong buah. 

Bumbu buah disediakan dan boleh diambil sesuai kebutuhan tanpa biaya tambahan.  Buah nanas, semangka, pepaya, delima, sampai kesemak memenuhi rak buah.

Pernah suatu kali saya menyerahka uang besar tapi si penjual buah ini sedang tidak memiliki uang kembalian "besok aja, pak. kapan mampir lagi" begitu katanya tanpa takut kehilangan uang. 

Ya, inilah maknan kejujuran yang diajarkan olehnya dan hakikat rejeki yang tidak pernah dipikirkan. Kadangkala, orang yang pekerjaannya lebih pasti karena terjamin gaji dia awal bulan malah takut kehilangan uang.

Penjual buah tidak memiliki ukuran pasti uang yang dibawa pulang. Ketika hari panas, buah yang laku lebih banyak. Namun, saat hujan mengguyur, tidak banyak yang mampir membeli. Artinya, hanya sedikit keuntungan yang didapat.

Saya tidak pernah melihat wajah ketakutan darinya. Walaupun saat hujan datang, tetap saja ia berjualan dengan gaya yang sama. "Rejeki dari tuhan" ujarnya. Kadang rak buah masih terisi ketika hendak meninggalkan lokasi tempat berjualan. 

Kulit buah-buahan ia serahkan kepada masyarakat sekitar yang memelihara ternak sebagai umpan. Saya rasa, ia menyerahkan dengan ikhlas tanpa meminta uang sepeserpun.

Dari kebanyakan penjual buah, ia termasuk yang tidak perhitungan. Ukuran potongan buahnya selalu besar dan terjamin kualitas rasanya. Dari segi keuntungan, bisa saja ia memotong lebih kecil agar bisa menjual lebih banyak, tapi itu bukan sesuatu yang menggambarkan kepribadiannya. 

Sikapnya yang ramah menyapa pembeli adalah magnet untuk menarik pembeli. Tanpa segan dan canggung, setiap pembeli ia sapa dengan ucapan yang mencerminkan keindahan akhlak.

Untung banyak bukan tujuan yang ingin dicapai oleh si penjual buah. Ragam pekerjaan sudah pernah dilakoninya, tapi kelihatannya menjual buah di tepi jalan adalah sesuatu yang ia nikmati. 

Dari penjuah buah yang sederhana ini, saya bukan hanya belajar makna keihklasan dan kejujuran, tapi juga tentang arti dan hakikat rejeki yang sebenarnya.

Terlepas dari bagaimana pandangan orang pada jenis pekerjaan, penjual buah seperti ini terkadang lebih terjamin kehalalan rejeki yang ia bawa pulang untuk keluarga dibanding mereka yang bekerja dengan gaji bulanan. 

Banyak yang bekerja di kantor mengambil hak yang sebenarnya bukan miliknya. Contohnya, bekerja beberapa jam saja dan sisanya di luar kantor untuk bersantai. Di awal bulan gaji diterima tapi tidak sebanding dengan jam kerja.

Begitulah realita. Halal tidaknya uang yang kita terima seringkali luput dari perhatian kita. Cara kita bekerja dan nilai kejujuran yang kita aplikasikan saat bekerja sangat menentukan apakah gaji yang kita terima halal atau tidak. 

Jika tidak, ada konsekuensi yang harus ditanggung. Apa itu? ketidakharmonisan dalam keluarga, musibah yang datang tanpa terduga atau bahkan kehilangan sesuatu yang berharga.

Perlu diingat bahwa ketika kita secara tidak sadar mengambil hak yang bukan milik kita maka kita juga akan kehilangan sesuatu dengan cara yang tidak bisa kita duga.

Kejujuran dalam bekerja dan keihklasan menerima apa yang seharusnya milik kita, baik itu sedikit atau banyak, jauh lebih penting untuk kita pahami agar kualitas hidup kita terjaga.

Penjual buah memang bukan pekerjaan idaman banyak orang, tapi nilai dari apa yang didapat oleh mereka bolehjadi jauh lebih bermakna dan mengajarkan kita tentang berlaku adil dan menjadi pribadi yang jujur. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun