Kita sering mendengar atau menonton berita tentang kisah heroik dokter yang berhasil melakukan operasi untuk menyelamatkan hidup seseorang. Dunia kesehatan memberi apresiasi yang sangat besar saat operasi yang sulit berhasil dilakukan.
Namun, ada sebuah kisah yang hanya sedikit diberitakan. Di sebuah negara yang saat ini mengalami penderitaan bertubi-tubi. Seorang dokter di Plaestina terpaksa mengamputasi anak sendiri tanpa bius.Â
Tentu ini bukan tanpa alasan. Serbuan rudal, bom, tembakan yang terus menerus dilakukan Israel telah melumpuhkan tidak hanya ekonomi Palestina, namun pasokan obat-obatan di seluruh rumah sakit di Gaza.Â
Kita tidak bisa membayangkan bagaimana pasien-pasien yang terkena rudal dan bom serta tembakan tentara terlaknat di dunia harus dioperasi tanpa menggunakan obat bius. Itulah kenyataan yang sedang terjadi di Gaza sejak perang Palestina-Israel terjadi 7 Oktober 2023.
Jika di negara-negara lain operasi dilakukan di ruang dengan standar sangat bersih untuk menghindari bakteri, hal serupa tidak berlaku di Palestina. Korban perang yang selamat bahkan masih diserang ketika berada di dalam rumah sakit sekali pun. Sangat brutal bukan?
Dokter yang terpaksa mengamputasi anak sendiri tanpa bius tahu persis bagaimana rasa sakit yang harus ditanggung. Bayangkan bagaimana perihnya hati seorang ayah yang tidak memiliki pilihan selain menyaksikan rasa sakit anaknya di tangannya sendiri.
Namun, takdir berkata lain. Anaknya tidak bisa diselamatkan. Lagi-lagi, betapa hancurnya hati seorang ayah harus rela melihat buah hatinya pergi untuk selama-lamanya di tangannya sendiri.
Kisah-kisah seperti ini buka hanya terjadi pada satu, dua, tiga keluarga. Ratusan ayah kehilangan anak, ribuan suami kehilangan istri, dan ribuan anak kehilangan ayah.
Perihnya kehidupan di Palestina akibat serangan tentara Israel sudah tidak bisa dideskripsikan lagi oleh kata-kata. Mereka diserang, dirudal dan dibom dari arah yang sama sekali tidak bisa diprediksi.Â
Nyawa di Palestina seakan tidak berharga. Seseorang bisa bernafas dipagi hari, lalu siangnya telah tiada. Seseorang bisa terlihat di malam hari, lalu ketika pagi rumah yang ditempati tidak lagi tersisa.
Kejam, sangat kejam dan brutal. Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana. Para penduduk yang sedang mencari tempat aman dalam sebuah mobil dibom hangus. Bisakah kita membayangkannya? ini bukan perang, tapi pembunuhan masal.
Tentara-tentara Israel tidak sedang meruntuhkan bangunan, tapi mereka mengejar orang-orang di dalamnya. Mereka sedang tidak menargetkan lawan, tapi dengan mata terbuka membinasakan orang-orang tidak bersalah.
Rumah sakit diserang, tenaga medis dibunuh, wartawan ditarget, bahkan bayi-bayi dibinasakan tanpa ampun. Dunia menyaksikan kebiadaban kaum Israel. Tapi mereka diam seribu bahasa, hanya sebagian yang terbuka hatinya merasa iba.