Sayangnya, pola belajar grammar atau tata bahasa yang tidak tepat menjadi tali pengekang siswa. Sebagaimana yang saya amati, banyak siswa yang takut berbicara karena kemungkinan melakukan kesalahan.
Padahal, proses belajar bahasa memang seharusnya disertai kesalahan. Dengan begitu, siswa lebih mudah memahami konteks penggunaan kalimat yang sesuai dengan aturan grammar.Â
Siswa yang tidak ambil pusing dengan aturan grammar lebih antusias ketika menggunakan bahasa Inggris. Beberapa kali mengulang kesalahan yang sama, kedepannya mereka kemungkinan besar tidak akan mengulanginya lagi.
Meski secara nilai mereka tidak berada di peringkat atas, tapi dalam hal kemampuan mereka bisa saja mengungguli teman-temannya.Â
Siswa dengan karakter pendiam terlihat unggul dalam hal nilai, setidaknya kemampuan memahami teori membuat mereka paham akan jawaban pada setiap pertanyaan yang diujiankan.
Dalam kelas bahasa, teori bukanlah penentu atau sebuah gambar utuh keberhasilan siswa. Kertas-kertas jawaban seringkali menipu dan memberi penilaian yang bertolak belakang dari tujuan berbahasa.
Pola belajar yang bertitik pada siswa (learner-centered classroom)Â bukanlah sesuatu yang mudah bagi siswa dengan karakter pendiam.Â
Adapun peran guru untuk membimbing siswa guna menfasilitasi proses pembelajaran yang ideal juga terganjal oleh lingkungan dimana siswa dbesarkan.
Karakter siswa dan makna keberhasilan dari sebuah proses belajar tidaklah mudah untuk diterjemahkan secara harfiah. Apalagi, indikator keberhasilan juga terikat oleh waktu dan motivasi belajar yang sulit diukur dengan dua mata.
Artinya, seorang guru boleh saja memiliki satu penilaian akan seorang siswa, namun di mata guru yang lain gambaran akan keberhasilan siswa bisa saja berbeda.Â
Guru bukan tidak mungkin memiliki sudut pandang berbeda karena wawasan dan tolak ukur yang juga tidak sama. Makanya, memahami siswa tidak selayaknya hanya berpatokan pada selembar kertas berisi angka-angka yang belum tentu mewakili karakter siswa.