Nah, permasalahan hari ini adalah semakin kecilnya ruang terserapnya air ke dalam tanah. Hal ini bisa dilihat dari desain rumah dan bangunan yang tidak menyediakan ruang untuk kembalinya air ke dalam tanah.
Rumah-rumah yang halamannya disemen menghambat aliran air ke dalam tanh, sehingga kestabilan air dalam tanah menurun setiap waktunya. Sementara setiap harinya air terus diserap untuk dipakai.
Saya teringat suatu ketika mengunjungi komplek perumahan yang baru dibangun di kota Columbia, Amerika Serikat. Disana ijin membangun rumah tidak bisa diperoleh kecuali drainase dibangun lebih dulu untuk memastikan kemana air mengalir.
Tentu saja ini cukup beralasan karena jalur air harus terlebih dahulu dipetakan sebelum berdirinya perumahan. Bagaimana dengan standar pembangunan rumah di Indonesia? mana yang lebih dulu dipikirkan, jalur air atau jalur masuk rumah?
Ini terdengar spele dan seakan tidak dianggap penting. Pada kenyataannya, keberadaan sumber air sangat menentukan kualitas hidup masyarakat di tempat. Jadi, desain rumah hendaknya disesuaikan mengikuti hukum alam untuk menjaga keseimbangan sumber air dalam tanah.
Sistem drainase bawah tanah berfungsi untuk mengalirkan air kembali ke tanah, istilah dalam bahasa Inggris adalah Underground drainase system, sebagaimana terlihat di gambar berikut.Â
Di Jakarta misalnya, terkenal sumur resapan yang dibuat di beberapa tempat. Tujuannya untuk mengalirkan kembali air ke dalam tanah. Selain berguna untuk menyerap air saat hujan, sumur resapan dalam jangka panjang membantu terjaganya sumber air di area setempat.
Di kota-kota besar yang umumnya dibangun gedung-gedung bertingkat, sumber air dalam tanah digunakan dalam skala berlebih. Akhirnya, jumlah air yang tersedot jauh lebih besar dari jumlah air yang masuk kembali ke dalam tanah.
Pola pemakaian air dengan kebiasaan buruk ditambah desain drainase yang tidak layak secara tidak langsung membuat kestabilan air dalam tanah tidak terjaga dengan baik.Â