Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjaga Pangan dan Menjadikan Rumah sebagai Aset Kesehatan

26 Oktober 2023   21:01 Diperbarui: 26 Oktober 2023   21:03 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
rumah sebagai sumber kesehatan|freepik.com

Rumah yang kita tempati saat ini bukanlah sekedar tempat berteduh semata. Rumah selayaknya dijadikan aset kesehatan bagi pemiliknya dan anggota keluarga yang hidup dalam satu atap.

Seberapa banyak orang yang menjadikan rumah sebagai media hidup sehat? sedikit sekali! bahkan, fungsi rumah hanya sekedar hunian yang luput dari standar hidup sehat.

Padahal, rumah yang sehat mampu menjauhkan penghuninya dari kebiasaan mengkonsumsi makanan tidak layak atau yang berpotensi mengundang penyakit.

Di Amerika, industri makanan menjadi penyumbang pola hidup yang buruk. Merebaknya industri makanan cepat saji di hampir semua sudut wilayah negara bagian membuat sistem kesehatan meradang.

Health care berubah menjadi sebutan baru, yakni sick care. Kesehatan tidak lagi dijamin oleh pemerintah, sebaliknya, pemerintah memang membuat orang cepat sakit dengan produk makanan pabrikan yang merusak cara kerja organ tubuh.

Hal serupa dialami oleh ratusan juta penduduk di berbagai macam negara, termasuk Indonesia. Industri makanan tidak pernah peduli pada kesehatan. Mereka malah mengiklankan makanan dan minuman dengan bahasa yang menipu, lebel nutrisi, protein tinggi, dan menyehatkan kerap menipu dan membutakan pembeli. 

Akses Pangan Bermutu

Berbicara tentang pangan, kita tidak sedang membahas kuantitas saja. Ketersediaan pangan yang menipis seiring bertambahnya populasi dunia menjadi sebuah ancaman yang membodohkan cara bernalar.

Realitanya, pola tanam dan konsumsi adalah akar masalah yang jauh lebih penting untuk dipahami. Ketersediaan pangan bisa dikendalikan jika masyarakat mau merubah pola pikir terlebih dahulu. Jumlah pangan akan tetap bisa dikontrol sejalan berubahnya pola makan.

Konsumsi makanan rata-rata orang Indonesia masih jauh lebih kecil dari jumlah lahan pertanian yang tersedia dari Sabang sampai Marauke. Hanya saja, lahan-lahan tersebut masih belum sepenuhnya dihidupkan untuk mencukupi kebutuhan pasar. 

Di Aceh saja, tomat, bawang, wortel masih bergantung pada pulau Sumatra. Untuk sayuran, petani lokal sejauh ini mampu menyeimbangkan kebutuhan pasar. 

Kawasan-kawasan pertanian produktif belum secara masif dihidupkan di beberapa kabupaten di Aceh. Jika saja pemerintah lokal mau, lahan pertanian lokal mampu menghasilkan tomat, bawang, cabe, wortel dan sayuran lainnya yang dibutuhkan masyarakat.

Faktanya itu belum terjadi! selama ini, data akan kebutuhan sayuran mungkin tidak terdata secara akurat. Jadinya, kadangkala stok kebutuhan pangan melimpah dan dalam suatu ketika bisa sama sekali tidak tersedia. Harga bisa naik dua kali lipat saat itu juga.

Akses pangan kadang dianggap sekedar kebutuhan singkat. Akhirnya, analisa kebutuhan rumah tangga seringkali diabaikan. Seharusnya pemerintah lokal bisa membuat grafik kebutuhan pangan yang terukur dan akurat.

Dalam satu kecamatan, berapa kebutuhan tomat, bawang dan cabe per minggunya dan seberapa banyak transaksi ekonomi menguntungkan masyarakat sekitar. Dengan cara ini, pemerintah lokal mampu memetakan sumber, jenis, dan kebutahan sayuran dalam skala kecil dan besar.

Rumah sebagai sumber pangan

Sebuah keluarga yang memiliki sebuah rumah dengan mudah dapat menyediakan tempat untuk kemudian ditanami sayuran yang dikonsumsi sehari-hari, semisal bayam, sawi, bawang dan cabe. 

Namun, hal ini tidak akan pernah terjadi jika penghuni rumah tidak terlebih dahulu merubah visi hidup keluarga ke arah yang lebih sehat. Perkara lahan bisa disiati, tapi kemauan untuk hidup sehat hanya datang dari pikiran yang sehat pula.

Kalau sehari-hari keluarga menghabiskan waktu lebih dominan diluar, merubah pekarangan sebagai tempat bercocok tanam tentu saja bukan pilihan yang ideal. 

sumber pangan keluarga|freepik.com
sumber pangan keluarga|freepik.com

Penting untuk keluarga menganalisa jenis makanan yang dikonsumsi dan mengevaluasi apakah sumber makanan selama ini condong menyehatkan atau malah menumpuk penyakit.

Caranya bagaimana? awali dengan mencatat setiap jenis pengeluaran sehari-hari untuk dianalisa setiap minggunya. Lihatlah berapa pengeluaran untuk kebutuhan dapur dan catat jenis sayuran yang biasa dikonsumsi oleh keluarga.

Boleh jadi, fakta dari pengeluaran akan memberikan gambaran tentang pola hidup selama ini. Jangan-jangan sayuran malah tidak masuk dalam catatan belanja mingguan, sedangkan jajanan cepat saji berada di angka paling tinggi.

Apa implikasinya? 

Ada yang salah dengan pola hidup selama ini! jangan heran, pengeluaran malah meningkat tapi kesehatan menurun. Rumah yang secara alamiah bisa mendatangkan kesehatan, eh dengan mudahnya menjadi sarang penyakit.

Konsumsi makanan sehat keluarga sebenarnya mudah dipetakan. Suami dan istri perlu membuat blueprint hidup sehat dengan standar makanan yang dijadikan pegangan bagi anggota keluarga. 

Namun dari itu, seorang suami harus memahami apa itu standar makanan sehat dan bagaimana memberlakukan dalam rumah. Awal dengan sama-sama mempelajari sistem kerja organ tubuh dan jenis sayuran apa yang efektif meningkatkan kinerja organ. 

Dengan cara ini, jenis makanan sehat yang bervariasi akan mudah dihidangkan di atas meja makan setiap hari. Anggota keluarga diajak untuk hidup pada standar yang sama.

Jajanan yang tidak sehat juga dengan sendirinya mampu dihindari saat standar hidup sehat dipahami dalam keadaan utuh oleh semua anggota keluarga. Alhasil, pola pikir sehat juga merasuki jiwa penghuni rumah. 

Intinya, kebutuhan pangan sampai kapan pun bisa disiati oleh keluarga. Sejauh pola hidup sehat dijalankan oleh penghuni rumah, lahan kecil bisa disulap untuk sumber sayuran sehat sehari-hari.

Lahan pertanian di setiap desa juga sangat bisa mencukupi kebutuhan mingguan jika mampu dirubah menjadi aset aktif. Bahkan, saat bersamaan, sumber ekonomi masyarakat desa menjadi lebih terbuka lebar.

Intinya, masalah yang dihadapi bukan pada ketidakcukupan sumber pangan, namun lebih pada ketidakmampuan pemerintah menganalisa pola konsumsi masyarakat dan memetakannya dengan baik.

Pada skala terkecil, pola hidup sehat dan standar hidup keluarga sangat menentukan seberapa banyak pangan lokal yang harus diproduksi dan seberapa positif perputaran uang pada lingkup petani. 

Jangan sampai, pemerintah fokus pada ketersediaan pangan, namun tidak mampu mensejahterakan kehidupan petani. Padahal, dengan pola konsumsi pangan yang sehat seluruh keluarga di Indonesia, kehidupan petani juga membaik. Bukankah seharusnya demikian?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun