Sekitar 20 tahun silam, seorang teman seangkatan dimabuk cinta. Perkenalan dengan seorang wanita membuatnya larut dalam kabut asmara. Tak dielakkan, cinta membutakan matanya seketika.Â
Teman ini termasuk orang yang gigih. Ia datang dari kabupaten yang tergolong jauh dari kota demi menuntut ilmu. Ia bahkan rela bekerja sebagai montir demi menyambung hidup sambil berkuliah.
Tiga tahun berhasil dilewatkan dengan nilai yang lumayan baik. Naas pada tahun keempat, berawal dari pertemanan lewat salah satu media sosial yang kala itu belum terlalu terkenal, ia 'terikat' hati pada sosok yang belum begitu dikenal.Â
Sebenarnya, ia cukup mampu untuk menyelesaikan skripsi sebagai syarat akhir menyelesaikan kuliah, namun skripsi tidak wajib baginya karena ada yang lebih dinomorsatukan.
Sudah tak terbilang berapa kali teman menesahatinya agar tidak terlalu dekat dengan wanita yang belum diketahui sifat aslinya. Akan tetapi, ia terus larut dalam kalimat indah yang terlanjur dirajut.
Akhirnya, konsentrasinya terpecah dan kuliah bukan lagi prioritas. Bukan hanya itu, kesan pekerja keras yang dulunya disandang seketika sirna.Â
Sampai pada suatu waktu kisah cintanya berujung pada rasa pahit yang harus ditelan. Saat teman-teman mulai mengangkat tas untuk mengikuti KKN di perbatasan provinsi, ia 'terpaksa' pulang kampung.
Konon katanya, ia tak sanggup menerima fakta memilukan. Sedikit depresi dan perlahan membawa dampak pada tubuh. Ia mulai sakit-sakitan karena memikirkan gadis idaman.
Pun demikian, ajakan teman untuk kembali ke kota untuk menyelesaikan kuliah tidak mampu mengembalikannya ke jalan yang lurus. Gelar sarjana pendidikan mudah saja didapatnya jika ia mau fokus untuk menyelesaikan skripsi.
Singkat cerita, sebagaimana kisah asmara yang kandas di tengah jalan, ia meninggalkan bangku perkuliahan demi mengejar sesuatu yang tidak mampu dikejar.
Meninggalkan skripsi adalah pilihan tepat baginya kala itu. Rasa sayang berlebih meninggalkan bekas yang mendalam, sedalam lautan yang tidak pernah ia selami.
Kerja keras selama tiga tahun berakhir sia-sia. Pelajaran berharga yang patut dikenang abadi, skripsi tidak wajib karena cinta bersemi pada waktu yang tidak tepat.
Andai saja saat itu skripsi tidak wajib, mungkin saja gelar sarjana pendidikan sudah disandangnya. Apapun itu, jalan kehidupan sudah tertulis dan ada hikmah yang terkandung.
Kini, ia sudah menikah dan juga menyelesaikan gelar sarjana. Walaupun gelar sarjananya bukan lagi mengarah pada bidang pendidikan.Â
Dalam sebuah grup pertemanan, ia menanggapi postingan seorang teman tentang aturan baru yang tidak mewajibkan skripsi lagi.Â
Pesan itu berbunyi "Kenapa baru sekarang disahkan?"
Lengkap dengan sebuah emotikon wajah menangis di ujung kalimat tersebut. Mungkin saja ia menyesali masa lalu yang kelam dan bertanya, kenapa aturan ini tidak datang di lebih awal?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H