Kasus penipuan digital bukan saja meresahkan banyak pihak, tapi menjadi sebuah intropeksi diri. Secara logika, penipuan sering terjadi karena pelaku dapat membaca kelemahan target yang diincar.
Berkenaan dengan penipuan digital, faktor rendahnya literasi menjadi hal yang patut dikhawatirkan. Di era digital, ragam informasi beredar cepat dalam skala besar.
Calon korban yang lemah menjadi target empuk pelaku penipuan. Apa yang kemudian dimanfaatkan pelaku penipuan digital? jika cermat melihat, keengganan membaca adalah kelemahan yang paling rentan pada kasus penipuan digital.Â
Informasi fiktif mudah saja menyebar di grup WA, akibatnya masyarakat dengan tingkat literasi lemah lebih mudah percaya pada informasi yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya.
Prinsip sharing is caring malah disalahgunakan. Mereka yang malas membaca tidak mengecek sumber informasi dan memilih untuk membagikan ke orang lain dengan dalih peduli sesama.
Faktanya, informasi yang berselancar di dunia maya lebih dominan pada hal-hal yang tidak benar. Keengganan untuk membaca seringkali disebabkan karena judul berita atau artikel yang clickbait, alias judul yang memancing pembaca.
Phishing adalah salah satu penipuan digital yang menargetkan korban melalui tautan mengatasnamakan instansi pemerintah atau organisasi terpercaya.
Korban phishing tidak lain adalah mereka yang mudah percaya karena malas mengecek kebenaran sebuah tautan. Nah, ketidaktelitian calon korban ini dimanfaatkan pelaku untuk mengakses data pribadi yang sengaja disertakan.Â
Padahal, jika saja memakai logika berpikir yang tepat, seseorang tidak dengan mudah mengisi data informasi pribadi yang bakal dipakai oleh orang yang sama sekali tidak dikenal.