Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Emosi Anak adalah Cerminan Emosi Orangtua

3 Juli 2023   21:44 Diperbarui: 3 Juli 2023   23:23 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Emosi anak|freepik.com

Emosi ibarat air, jika terus diisi akan penuh dan jika tidak dikeluarkan bisa berubah menjadi penyakit. Walaupun secara hakikat air itu bermanfaat, namun membiarkan air tergenang merupakan sumber penyakit.

Emosi pada anak tidak serta merta hadir begitu saja. Faktor komunikasi dan interaksi orang tua bersama anak menjadi sumber emosi bagi anak. 

Sama seperti air, emosi perlu dikenali. Untuk mencari sumber air saja, seseorang harus menggali sumur dan menemukan mata air. Ada usaha, baru kemudian menikmati jerih payah.

Anak ketika terlahir belum mengenal yang namanya emosi. Anak mendeteksi dari cara orang tua berkomunikasi dan berinteraksi. Maknanya, cara berkomunikasi yang buruk adalah sumber emosi negatif bagi anak, sama halnya seperti pola interaksi.

Permasalahan yang sering dihadapi orang tua adalah ketidaksabaran dalam menghadapi tingkah anak. Akhirnya, orang tua condong mengeluarkan amarah dan tidak mampu mengontrol emosi saat berkomunikasi dengan anak.

Tentu saja, ada orang tua yang sudah memahami tehnik berkomunikasi yang baik dengan anak. Efeknya, anak juga menyerap emosi positif dari orang tuanya.

Sayangnya, tidak sedikit orang tua yang sudah sejak kecil banyak menyerap emosi negatif dari orang tua mereka. Tanpa disadari, pola yang sama juga diterapkan ketika berkomunikasi dengan anak.

Pada hakikatnya anak membutuhkan kasih sayang, kenyamanan dan keamanan. Tiga hal ini tidak didapat kecuali dengan mengalirkan emosi positif ketika berinteraksi dan berkomunikasi bersama anak.

Tekanan pekerjaan dan lingkungan kerapkali menjadikan orang tua keras kepada anak atau bersikap cuek. Lalu, anak menyerap energi negatif yang dibawa pulang orang tua dari tempat kerja. 

Karena jarang mendapat kasih sayang dari orang tua, anak tidak mempelajari hal yang seharusnya didapat. Akibatnya, anak kesulitan mengontrol emosi saat menghadapi kondisi yang dianggap tidak nyaman. 

Tangki emosi anak perlu diisi setiap hari dengan kasih sayang yang benar-benar diperlihatkan dari pola interaksi sehari-hari. Sebaliknya, emosi juga perlu dikeluarkan dengan cara yang tepat. 

Sebagai contoh, saat anak tidak mendapatkan benda yang diinginkan, maka lumrah saja mereka akan kecewa. Namun, orang tua sering membiarkan rasa kecewa atau marah secara tidak tepat.

Membiarkan anak memiliki segala sesuatu dengan mudah tentu saja tidak tepat. Anak condong memahami emosi tanpa benar-benar paham konsekuesi dari sebuah tindakan.

Misalnya, ketika sering dituruti keinginannya, anak mudah marah saat kemauannya tidak dituruti. Lalu, orang tua membiarkan saja. Lantas, apa yang dipelajari anak? kondisi seperti ini menyebabkan anak tidak tahu cara mengelola emosi. 

Seharusnya, orang tua membimbing dan memandu anak untuk memahami rasa senang, kecewa, marah dan sedih. Ketika keinginan tidak dituruti, bukan berarti orang tua tidak sayang.

Begitu pula ketika rasa marah muncul dalam diri anak, orang tua perlu mengenal emosi dalam diri anak dan mengajarkan mana yang baik dan mana yang tidak baik.

Jangan biarkan anak memendam emosi dalam dirinya dalam jangka waktu lama. Bukankah air yang dibiarkan tertutup tanpa dialirkan akan mengundang bakteri dan kuman?

Emosi juga demikian, ketika menetap lama dalam diri anak akan menjadi sumber penyakit. Bisa saja penyakit tidak terlihat di awal, namun ketika dewasa emosi yang tadinya tertidur secara tiba-tiba terbangun.

Banyak orang dewasa yang menyimpan emosi masa kecil dalam jangka waktu lama, emosi ini kemudian keluar dalam bentuk gaya asuh yang buruk. 

Tidak heran, ada orang tua yang kerjaannya marah-marah saja. Itu pertanda letupan emosi yang lama mengendap. Bisa dari emosi masa kecil atau lainnya. 

Makanya, membiarkan anak tumbuh tanpa kedekatan batin dengan orang tua adalah hal terbodoh yang dilakukan orang tua. Anak menyerap kasih sayang dan mengubahnya menjadi emosi positif. 

Anak dengan kasih sayang berlimpah mudah bersikap lemah lembut kepada orang lain. Sebaliknya, anak yang dibesarkan dengan bentakan, dimarahi, disalahkan juga menyerap energi yang sama.

Jelas saja, tipikal anak yang menyerap energi negatif orang tua juga akan mengeluarkan energi negatif pada orang lain. Tidak percaya? perhatikan saja cara komunikasi dan interaksi teman atau rekan kerja di kantor. 

Emosi memang diwariskan dari cara orang berinteraksi dengan anak. Sering membentak anak, maka mereka menjadi penakut. Sering memarahi anak, rasa percaya diri mereka berkurang.

Bagaimana jika anak mendapat kasih sayang yang cukup dengan cara yang tepat? 

Tentu saja emosi yang diperoleh jauh lebih baik. Namun dari itu, kasih sayang pada anak juga jangan berlebihan sehingga semua kemauan anak dituruti. 

Latih anak untuk belajar mengontrol emosi dengan baik. Saat orang tua tidak memberikan apa yang diinginkan, berikan alasan dengan cara yang baik agar anak paham.

Mengontrol emosi bukan perkara mudah. Orang dewasa saja belum tentu mampu menahan amarah pada kondisi normal. Apalagi anak kecil yang sama sekali tidak memahami realita kehidupan dan sedang berada pada fase belajar.

Peran orang tua adalah mengenalkan jenis emosi dan cara menanggapi emosi dengan bijak. Anak sedih jangan didiamkan, tanyakan penyebabnya dan tunjukkan cara bijak menanggapi rasa sedih.

Anak sedang marah juga jangan ditanggapi dengan emosi marah. Kepribadian anak sebaiknya dipahami oleh orang tua dengan tujuan mengajarkan tata kelola emosi secara tepat.

Kalau anak sedang mengalami masalah dan dicuekin, bukankah mereka akan semakin kesal? orang tua yang bijak mau mendekati anak dalam kondisi terpuruk dan mengajari anak untuk mencari solusi akan masalah yang dihadapi.

Jika orang tua gagal mendeteksi emosi anak dan membiarkan anak membendung emosi dalam waktu lama, bukan mustahil mereka akan mencari pelampiasan pada orang lain.

Kasih sayang mutlak dibutuhkan anak untuk menjaga rasa nyaman dan aman dalam diri mereka. Kalau anak tidak mendapatkan kasih sayang dari dalam rumah, maka mereka akan mencari di luar rumah dengan caranya.

Buruknya lagi, kasus seperti hamil diluar nikah bermula dari minimnya kasih sayang ayah pada anak perempuan mereka. Bukankah anak laki-laki juga perlu mendapat kasih sayang dari seorang ibu untuk menjadi pria dewasa yang baik?

Intinya, masalah anak ketika dewasa berawal dari emosi masa kecil yang tidak mampu dikelola. Kehadiran orang tua hanya sebatas pemberi nafkah dan hubungan kedekatan tidak terjalin.

Emosi tidak boleh dipandang kecil. Air yang diisi pada sebuah kolam akan terisi penuh walaupun butuh waktu lama.  Jika air yang sudah penuh dibiarkan begitu saja, segala macam penyakit hinggap disana. 

Emosi anak yang dibiarkan begitu saja tanpa diperdulikan membuat anak gagal memahami cara menanggapi emosi pada kondisi berbeda. Rasa sedih bisa berubah menjadi kemarahan dan rasa kecewa bisa berubah menjadi sebuah dendam. 

Ketika sebuah kolam besar airnya dibiarkan bertahun-tahun tanpa dikeluarkan, bukankah sulit untuk dibersihkan ?

Emosi yang mengendap bertahun-tahun lamanya akan menjadi monster yang sulit ditaklukkan. Jika sudah demikian, apalah guna orang tua bagi seorang anak?

[Masykur]   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun