Bagaimana sebenarnya definisi belajar?
Nilai sudah lama menjadi acuan untuk mendefinisikan tujuan belajar. Angka melahirkan jurang pemisah antara siswa pandai dan bodoh. Lalu, sistem perangkingan hilang, definisi pandai mulai diwakili kata.
Pada kenyataannya, siswa yang terkesan malas belajar tidak serta merta bisa dimaknai bodoh. Lebel bodoh juga seringkali dipakai untuk menyesatkan pemikiran orang awam.
Di banyak sekolah, siswa pandai lebih dianggap 'berguna' dari siswa bodoh. Akhirnya, fokus pengajaran lebih mengarah pada siswa-siswa yang memang dianggap mau belajar.
Lantas, perputaran makna pandai hanya berkisar pada siswa yang sama dengan pola yang sama pula. Jadi, definisi pandai juga tanpa disadari memberi kemudahan pada yang memiliki kemauan belajar.
Timbul sebuah pertanyaan, apakah mereka yang tidak mau belajar masuk katagori kandidat orang bodoh?
Jika dalam suatu kelas ada 30 siswa dan hanya 10 siswa yang mencapai target belajar, bagaimana definisi 20 siswa yang belum memenuhi standar pencapaian belajar?
Setiap guru memiliki standar pencapaian yang merujuk pada setiap materi. Standar tercapaian tujuan belajar normalnya ditentukan oleh tingkat pemahaman siswa. Nah, yang menjadi persoalan adalah, tidak semua siswa menyukai materi yang disampaikan guru.
Bukankah minat belajar menentukan kemauan belajar? lalu, bisakah guru memaksakan kehendaknya agar siswa mau memahami materi yang tidak diminatinya? tentu saja tidak!
Kalaupun guru ingin berlaku adil, mengelompokkan siswa berdasarkan kemauan belajar bukanlah hal yang fair. Artinya, siswa sah-sah saja untuk bebas memilih materi yang memang disukai, namun ketika mereka tidak memahami materi tertentu, bolehkah seorang guru mencap mereka bodoh?
Sebagaimana guru berhak untuk menentukan cara mengajar, siswa secara alamiah juga berhak memilih materi yang disukai dan cara memahaminya.
Artinya, siswa yang mau belajar dan mereka yang terlihat malas belajar berada pada satu kondisi dengan penafsiran berbeda. Simpelnya, memaknai kemauan belajar sewajarnya dipahami secara kontekstual.
Makanya, tidak adil bagi seorang guru melebel bodoh pada siswa yang nilainya dibawah target pengajaran. Sebaliknya, pencapaian target belajar tidak selamanya bertumpu pada mereka yang dicap pandai.
Semua siswa punya hak untuk diperlakukan sama. Bukankah demikian seharusnya?
5 siswa pandai tidak lantas mengenyampingkan hak belajar 25 siswa dengan nilai pas-pasan. Kondisi kelas seperti pendekatan cara mengajar, proses transfer ilmu, media belajar, semuanya harus mengakomodir kebutuhan siswa.
Definisi pandai dan bodoh perlu dikaji dengan dua aspek penilaian: kemauan dan kemampuan. Ringkasnya, seorang guru sejatinya memahami karakter siswa secara personal untuk mendalami kemauan belajar mereka.
Pun demikian, antara kemauan dan kemampuan boleh jadi tidak saling mempengaruhi. Contohnya, siswa dengan kemauan belajar belum tentu memiliki kemampuan yang baik.
Sedangkan siswa tanpa kemauan belajar, boleh jadi memiliki kemampuan yang memadai. Walaupun demikian, kemauan belajar sejatinya membuka peluang untuk membangun kemampuan pada materi yang boleh jadi tidak disukai.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H