Dampak perceraian pada anak sangatlah buruk. Selain merasa terbuang, anak seakan kehilangan jati diri. Orang tua tentu saja punya seribu alasan membenarkan perceraian, namun tetap saja anak yang menanggup beban seumur hidup.
Pernikahan yang idealnya memberi ketenangan dalam rumah tangga tidak selamanya menjamin keutuhan. Banyak faktor yang bisa meruntuhkan ikatan pernikahan. Diantara yang paling umum adalah munculnya orang ketiga.
Memang, pada kenyataannya orang ketiga, keempat, atau kelima tidak secara langsung menjadi penyebab utama. Malah pada banyak kasus, perceraian dipicu karena ketidakpuasan pada pasangan.
Tidak diperhatikan, kurang dilayani, dan sedikitnya waktu bersama pasangan membuat salah satu pasangan mencari pemenuhan ke lain pihak. Tanpa disadari, perhatian dari orang ketiga, keempat dan kelima memberi pengalaman baru.
Wajar saja jika seorang suami lari ke perempuan lain saat dirinya merasa tidak dilayani. Begitupula dengan istri, intensitas pertemuan dengan lawan jenis di tempat kerja mudah saja menghadirkan kemesraan baru.
Ego antar pasangan membuat masalah menjadi lebih rumit. Apalagi jika keduanya sama-sama keras kepala dan tidak memiliki visi mendidik anak dan terkesan ach tak acuh.
Siapa yang mungkin dirugikan?
Keutuhan keluarga secara tidak langsung memberi efek positif bagi anggota keluarga. Khususnya bagi anak, kehadiran ayah dan ibu jelas tidak bisa digantikan siapapun.
Siapa yang lebih menyayangi anak jika bukan orang tuanya. Walaupun di beberapa keluarga kakek dan nenek boleh saja menjadi pengganti orang tua, tapi secara pemenuhan kasih sayang dan emosi diperoleh lebih banyak dari ayah dan ibu.
Nah, ketika pasangan memutuskan untuk bercerai, konsekuensi terberat harus ditanggung anak. Hak asuh pada salah satu pasangan membuat anak tidak lagi mendapatkan kasih sayang yang utuh.