Pada kondisi seperti ini, anak seolah terombang ambing tanpa tahu kemana arah berlayar. Belum lagi jika anak terpaksa harus dititipkan pada orang lain yang tidka memahami psikologis anak dengan baik.
Bukanlah sebuah keheranan jika anak hasil perceraian terlihat tertutup. Emosi negatif yang ditanggung anak sejak kecil membentuk kepribadian yang terkesan buruk. Pada kenyataannya, minimnya kasih sayang yang diperoleh anak paska perceraian membuat anak terpuruk.Â
Di banyak tempat, bawaan emosi negatif mempengaruhi banyak hal dalam diri anak. Yang paling buruk adalah sisi kepribadian anak. Jika pun anak berhasil bertahan sampai dewasa, keinginannya untuk membina keluarga luntur akibat contoh buruk kedua orang tua.
Ada juga yang mampu bangkit dan bekeluarga, namun emosi negatifnya kembali bangkit dan berefek pada keutuhan keluarga. Artinya, efek perceraian seperti siklus daur ulang yang terus berjalan dan sulit dihentikan.
Rangkaian kesan dan pesan hidup yang dilihat langsung anak dari orang tua paska perceraian menjadikan anak lebih rentan ketika dewasa. Bukan berarti tidak ada anak yang sukses setelah orang tuanya cerai, namun memori yang tertanam dalam pikiran anak sulit dihapus kedepannya.
Makanya, dampak perceraian sampai kapan pun tetap terbawa dalam diri anak dan mempengaruhi pengalaman hidupnya. Anak bisa saja menjadi lebih pendiam, egois, dan tergerus rasa percaya dirinya.
Ringkasnya, yang paling dirugikan adalah masa depan anak. Ketika anak tidak mendapat kasih sayang secara utuh dari kedua orang tua, maka sisi pendidikannya terganggu.
Bukankah pemenuhan tangki emosi anak menjadi tanggung jawab orang tua? apatah gunanya harta bertumpuk jika kasih sayang sirna dalam keegoisan ayah dan ibu. Perceraian tetap saja bukan solusi yang harus ditempuh saat keutuhan keluarga terancam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H