Novel berjudul Titik Nol karya Agustinus Wibowo saya beli pada awal ramadan. Novel ini disajikan dalam rangkaian perjalanan penulis di beberapa negara.Â
Satu hal yang saya suka dari novel ini adalah gaya bahasanya. Banyak kosakata baru saya temukan dalam novel ini. Bukan hanya itu, rentetan perjalanan dari satu negara ke negara lain memberi gambaran kehidupan yang kompleks.Â
Betapa tidak, penulis yang merupakan mantan mahasiswa di sebuah kampus di Tiongkok berhasil memaparkan dimensi kehidupan pada setiap tempat yang disinggahinya.
Perjalanan yang diceritakan terasa begitu hidup. Kisah dalam kereta api menuju tibet dengan latar gurun memberi ilustrasi tersendiri. Selain itu, para penduduk Xinjiang yang notabene dianggap minoritas juga terdeskripsi dengan baik sebagaimana kultur penduduk tibet dalam banyak hal.
Agustinus Wibowo mampu menghadirkan kisah perjalanan yang menegangkan. Alur hidup penduduk di setiap negara juga dipaparkan dengan menarik dan unik.
Ada nilai budaya, bahasa dan kepekaan sosial yang tergambarkan dalam setiap ritme tulisan. Bagi saya, novel ini punya sisi keindahan secara sastra dan logika berpikir yang luas.
Perjalanan mengitari negara-negara yang dianggap berbahaya berhasil disajikan dalam nuansa baru. Berbeda dari novel-novel lain, gaya penulisan menggambarkan sosok penulis yang berjiwa pengembara.
Walaupun saya belum menamatkan novel yang lumayan tebal ini, 100 halaman pertama sudah cukup mengajarkan arti kehidupan dalam pandangan minoritas.
Krisis identitas dan kesenjangan sosial serta pemaknaan batas kehidupan menjadi kelebihan dalam novel ini. Titik Nol bukan hanya mengajarkan arti sebuah perjalanan, namun memberi kesan mendalam dalam makna setiap jalan yang ditempuh.
Ada pembahasan tentang penjelajahan dan penjajahan yang menegangkan. Pemakanaan dua kata berbeda dengan sudut pandang lain kerapkali menguji nalar dan logika.Â