Saat baru bergabung di Kompasiana, saya kerap menemukan tulisan menarik yang ditulis oleh para 'pakar' yang memiliki kualitas tulisan yang, boleh dikatakan, sangat baik.
Seingat saya, pada rentan 2011-2016 ada banyak tulisan yang unik secara isi dengan pembahasan mendalam. Tulisan katagori AU ketika itu punya standar yang lebih terukur dibandingkan sekarang ini.
Tidak heran, beberapa tulisan dari mereka masih terngiang di memori saya. Sayangnya, saya tidak mengingat nama-nama mereka dengan baik.
Ada banyak penulis yang kini tidak lagi berada di dalam rumah mewah ini. Pastinya, mereka punya alasan masing-masing mengapa memilih mundur. Padahal, tiap kali tulisan mereka muncul di beranda, ada saja ilmu baru yang saya dapat kala itu.
Bagi saya, mereka itu penulis hebat. Walau saya tak mampu mengingat nama, namun bekas tulisan mereka menancap kuat. Secara pesan, mereka mampu tulisan mereka mampu memberi kesan tersendiri.Â
Lain dulu lain sekarang. Meskipun tak ada menu pilihan saat itu, kualitas tulisan yang dipajang meninggalkan pesan yang terikat pada pembaca. Bagaimana dengan sekarang? saya tak bisa menjawab detil, tapi bedanya terlihat.
Lalu, kenapa mereka pergi?Â
Ya, setiap penulis punya hak untuk memutuskan. Mau menetap atau pergi selamanya. Lebih dari itu, saya sebenarnya merindukan tulisan-tulisan mereka yang sarat makna dan penuh kebijaksanaan.
Penulis yang saya kenal ketika itu setidaknya punya jam terbang yang cukup tinggi. Selain karena faktor keilmuan, mereka memiliki sudut pandang yang luas.Â
Beberapa pola penulisannya bisa saya temukan pada beberapa penulis Kompasiana saat ini. Saya tidak mau menyebut nama, tapi tulisan mereka memang beda.Â
Beda dalam hal penyampaian dan memiliki pesan mengikat. Sebuah tulisan yang memiliki 'nilai jual' mudah mengikat pembaca dari pesan yang terkandung.
Seringkali, penulis pemula tidak mampu menjangkau kriteria tersebut. Bukan karena tidak luasnya ilmu, namun lebih kepada 'jam terbang' yang tidak layak disamakan.Â
Sebagai contoh, beberapa hari yang lalu saya membeli sebuah Novel berjudul "the rent collector". Penulisnya adalah Camron Wright. Novel ini berhasil meraih Whitney Awards katagori novel terbaik.Â
Dalam novel ini saya menemukan alur yang sangat menarik. Pesan yang diberikan juga luar biasa. Novel setebal 400 halaman ini bisa saya baca dalam tiga hari. Normalnya, saya butuh berminggu-minggu untuk menyelesaikan satu novel.Â
Pesan yang mengikat membuat saya terus ingin membaca. Apalagi, isi novel ini sangat menggugah. Kisah dua orang ibu dari dua keluarga yang bertolak belakang secara status maupun peran.
Yang satunya seorang ibu yang berjuang membesarkan anak dalam tumpukan sampah, sementara satunya lagi seorang berpendidikan yang kisah hidupnya berujung tragis karena suami dan anaknya terbunuh oleh militer.Â
Uniknya, pesan yang ditampilkan dalam novel ini cukup mendalam. Bukan hanya itu, novel ini berhasil menyajikan nilai sastra dengan contoh mudah dicerna otak. Bagi saya, ini luar biasa.Â
Saya ingin menuliskan isi novel ini dengan gamblang, namun berikan waktu kepada saya untuk menyajikannya dengan baik.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H