Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Carut Marut Seleksi Calon Guru, antara Kebijakan dan Dilema Pendidikan

10 Maret 2023   14:30 Diperbarui: 11 Maret 2023   04:15 977
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yang sering terjadi adalah, ada guru yang tidak siap mental atau secara psikologis mampu menghadapi siswa di SMP atau SMA. Mereka pandai, tapi ketika berhadapan dengan siswa berbeda secara keilmuan bisa kalang kabut.

Saya sering melihat kasus seperti ini. Saat mengajar di kampus, saya sering menyuruh mahasiswa untuk mengajar di depan. Yang siap mental dan psikologis hanya sebatas 5 orang saja, iya 5 orang dari 30 mahasiswa keguruan. Sisanya, tidak dan belum berani mengajar.

Kembali ke titik masalah awal. Proses perekrutan calon mahasiswa keguruan tidak boleh hanya mengandalkan angka saja. Harus ada ujian tes psikologi, kepribadian, minat dan bakat, serta wawancara.

Di Finlandia, proses seleksi calon mahasiswa keguruan itu sangat ketat. Mereka tidak hanya dinilai secara keilmuan, namun yang tak kalah penting adalah minat dan bakat menjadi guru ada atau tidak.

Buat apa menerima mahasiswa yang dari awal tidak berminat dan berbakat menjadi guru. Yang ada mereka hanya menjadi 'perusak' kualitas pendidikan jangka panjang.

Jika ada 10 orang saja menjadi guru karena bukan minatnya, bayangkan berapa generasi yang harus menanggung rugi kedepannya. Ini terlihat spele, tapi efeknya besar sekali pada generasi kedepannya.

Carut marut pendidikan di Indonesia tidak terlepas dari kebijakan yang tumpang tindih, kurikulum yang tidak mengakoomodir keperluan di lapangan, dan proses pembibitan kader guru yang tidak fokus pada kualitas.

Akhir kata, saya ingin menutup tulisan ini dengan kalimat di bawah ini:

Guru boleh banyak, tapi jika kualitasnya kurang, maka bersiaplah untuk kehilangan banyak hal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun