Yang sering terjadi adalah, ada guru yang tidak siap mental atau secara psikologis mampu menghadapi siswa di SMP atau SMA. Mereka pandai, tapi ketika berhadapan dengan siswa berbeda secara keilmuan bisa kalang kabut.
Saya sering melihat kasus seperti ini. Saat mengajar di kampus, saya sering menyuruh mahasiswa untuk mengajar di depan. Yang siap mental dan psikologis hanya sebatas 5 orang saja, iya 5 orang dari 30 mahasiswa keguruan. Sisanya, tidak dan belum berani mengajar.
Kembali ke titik masalah awal. Proses perekrutan calon mahasiswa keguruan tidak boleh hanya mengandalkan angka saja. Harus ada ujian tes psikologi, kepribadian, minat dan bakat, serta wawancara.
Di Finlandia, proses seleksi calon mahasiswa keguruan itu sangat ketat. Mereka tidak hanya dinilai secara keilmuan, namun yang tak kalah penting adalah minat dan bakat menjadi guru ada atau tidak.
Buat apa menerima mahasiswa yang dari awal tidak berminat dan berbakat menjadi guru. Yang ada mereka hanya menjadi 'perusak' kualitas pendidikan jangka panjang.
Jika ada 10 orang saja menjadi guru karena bukan minatnya, bayangkan berapa generasi yang harus menanggung rugi kedepannya. Ini terlihat spele, tapi efeknya besar sekali pada generasi kedepannya.
Carut marut pendidikan di Indonesia tidak terlepas dari kebijakan yang tumpang tindih, kurikulum yang tidak mengakoomodir keperluan di lapangan, dan proses pembibitan kader guru yang tidak fokus pada kualitas.
Akhir kata, saya ingin menutup tulisan ini dengan kalimat di bawah ini:
Guru boleh banyak, tapi jika kualitasnya kurang, maka bersiaplah untuk kehilangan banyak hal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H