Kalau apa yang ditulis memberi manfaat kepada orang banyak, kenapa tidak?. Meskipun demikian, jika sebuah tulisan mengandung sebuah opini berbungkus keilmuan, tentu saja lain ceritanya.
Ini bukan berarti tidak boleh beropini jika bukan pakarnya. Interpretasi pakar bisa menyempit dan meluas, sangat tergantung sudut mana yang ingin ditonjolkan.
Misalnya, ada orang yang secara pendidikan tidak memahami tentang kesehatan. Akan tetapi punya akses ilmu dengan membaca beberapa sumber kesehatan baik dari buku, jurnal penelitian atau artikel dari pakar.
Apakah orang seperti ini tidak boleh menulis? jika memang apa yang ditulis dipahami dengan baik tanpa menimbulkan persepsi yang salah, maka sah-sah saja untuk menulis.
Namun dari itu, perlu berhati-hati jika sudah menyangkut pemaparan tentang hal detil yang spesifik. Apalagi jika mengandung opini yang tendensius pada bidang keilmuan tertentu.
Sebuah tulisan pada hakikatnya mengandung sisi manfaat. Pembaca punya hak untuk menentukan apakah sebuah tulisan bermanfaat secara positif atau negatif.
Contoh sederhana, topik childfree bisa dituliskan dengan dua sudut pandang. Walaupun sebagai penulis kita menganggapnya positif, bagi sebagian pembaca sangat mungkin berkonotasi negatif.Â
Tujuan dari sebuah tulisan bukan untuk memuaskan pembaca. Jadi, penulis hebat sekali pun belum tentu 100% mampu menghadirkan sisi positif pada pembaca.Â
Oleh karenanya, faktor kepakaran memang penting menjadi acuan kualitas sebuah tulisan, namun tidak seharusnya menjadi penghambat seseorang untuk menulis.Â
Akan lebih baik lagi jika tulisan yang masuk katagori Headline tersaring secara kualitas dan orgininalitas. Artinya, kredibilitas seorang penulis tersaji dalam kualitas tulisan.
Layaknya seorang koki yang punya kredibilitas akan jaminan rasa makanan yang dihasilkan. Bukankah seorang penulis juga harus mampu menjaga kualitas tulisan yang disajikan.