Sebuah kebijakan memang seharusnya memihak pada rakyat dan bukan sekedar test drive. Jika aturan yang ingin ditegakkan hanya sebatas trial dan error, tentu saja kita sudah bisa menebak ujungnya.
Rakyat pasti sudah bosan dengan segala macam kebijakan yang terkadang bak pisau bermata dua, satu tajam memotong hak kaum miskin, sementara di sisi lain tumpul tanpa tujuan jelas.
Electronic Road Pricing (ERP) yang terlihat efektif untuk melebur kemacetan bisa saja tidak sesuai harapan jika beberapa faktor penilaian tidak dipertimbangkan.
Tujuan dan Visi
Saya pribadi setuju jika aturan ERP bisa memperbaiki kualitas lalu lintas, namun tetap memberikan kenyamanan bagi semua pihak. Kita sadari, antara satu kebijakan dan kebijakan lain terkadang tumpang tindih dan tidak sejalur.
Misalnya, apakah pemberlakuan ERP sudah siap jika dinilai dari jumlah transportasi publik yang dapat menampung mobilisasi penduduk kota. Tentu saja untuk menjawab ini butuh data yang rinci sesuai realita lapangan.
Pertanyaannya adalah, sejauh mana pemerintah dapat membuat analisa terstrukur tentang pola lalu lintas, jumlah kedaraan, dan kaitannya dengan perkembangan ekonomi?
Dengan kebijakan ERP, siapa yang akan diuntungkan dan siapa yang akan menangung rugi?
Rakyat jelas tidak mau mengikuti aturan yang tujuannya masih terdengar ambigu. Bukankah sebuah aturan akan mudah untuk diikuti jika memang tujuan dan visinya sejalan?
Jalur tertentu yang dianggap menjadi sumber kemacetan memang perlu dicarikan solusi agar tidak memperparah keadaan dan dapat memberikan kenyamanan bagi pengendara.
Meskipun demikian, pemerintah juga perlu mengkaji apakah aturan ERP akan efektif jangka panjang. Jangan sampai cuman sebatas ingin terlihat keren saja seperti negara maju lainnya yang sudah berhasil menerapkan ERP.
Banyak indikator keberhasilan yang perlu dianalisa dan dikaji, yang lebih penting lagi jangan sekedar mencontoh negara lain tapi pahami konteks sebuah kebijakan pada kultur dan kebiasaan masyarakat.
Ada banyak kebijakan yang jangankan berhasil, baru dijalankan sudah menimbulkan masalah. Jadi, sebaiknya siapkan solusi jika masalah baru muncul dan jangan lempar batu sembunyi tangan dengan berkata "bukan saya". Sungguh akan memalukan jika demikian.
Smart City
Kota-kota besar sudah lumrah menerapkan konsep smart city. Jakarta adalah salah satu kota besar yang sudah menerapkan ini dengan nama Jakarta Smart City (JSC) sejak 2014.
Landasan pemberlakuan smart city adalah keinginan memberikan solusi yang cepat pada masalah kota. Sebagai kota metropolitan dengan jumlah penduduk yang saban hari terus meningkat, jakarta memerlukan data yang terintegrasi untuk menawarkan solusi tepat sasaran.
Makanya, warga Jakarta sudah sangat familiar dengan konsep smart city yang salah satu produknya adalah JAKI. Di bawahnya ada JakSiaga, JakPangan, JakLapor, JakSurvei, dll.Â
Meskipun sudah lama berjalan, kota besar tetap terus harus berbenah untuk menyajikan pelayanan yang lebih mudah dan tepat sasaran, sehingga solusi bisa terahkan dengan baik.
Ya, yang namanya smart city haruslah smart, namun pada kenyataannya kita tetap akan menemukan masalah yang disebabkan stupid people, yaitu orang-orang yang menjadi sumber masalah.
Nah, aturan ERP seharusnya menjadi solusi untuk membuat kota semakin smart. Tentu saja ini harapan semua pihak, terlepas dari bagaimana realita di lapangan nantinya.Â
Apakah ada yang akan dirugikan dengan kebijakan ERP? Banyak yang menilai bahwa ojek online bisa masuk 'perangkap' ERP saat melintasi jalan-jalan yang masuk kriteria ERP.
Akan tetapi, ada yang berkilah bahwa ojek online biasanya tidak terlalu sering mengantar pelanggan dengan jarak jauh, artinya kemungkinan terjebak pada jalan berbasis ERP lebih sedikit.
Kedua asumsi ini bisa benar dan bisa salah, tergantung ke mana arah tujuan ojek online dan seberapa sering lintasan ERP menjadi langganan ojek online atau taksi online yang memang mencari nafkah dari jalan.
Tentu saja, saat kebijakan ERP dijalankan, perlu ada analisa lebih mendalam sejauh mana lintasan ini dilewati orang dengan kriteria kendaraan seperti apa, misalnya apakah lebih banyak pelintas yang berasal dari kendaraan mewah, atau mereka yang melintas untuk mendapatkan setoran guna bertahan hidup.
Data ini perlu dijadikan database yang harus dikaji nantinya untuk kemudian dirumuskan kembali sebagai bahan pertimbangan tingkat efektifitas pemberlakukan ERP.Â
Semoga pemeritah benar-benar sudah mengkaji kelayakan sebelum membuat kebijakan. Apapun kebijakan, analisa data sangat perlu dikedepankan guna memberi kenyamanan dan keamanan untuk semua pihak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H