Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Memahami dan Menghindari Jebakan Emotional Spending saat Berbelanja

26 Desember 2022   12:03 Diperbarui: 27 Desember 2022   12:10 946
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi budgeting| Dok: Freepik.com

Emotional spending adalah sebuah ungkapan yang dipakai untuk menjelaskan perilaku menghabiskan uang pada sesuatu yang tidak dibutuhkan. Memahami emotional spending akan membantu seseorang untuk lebih bijak dalam hal memakai uang.

Menghabiskan uang tentunya lebih mudah ketimbang menghasilkannya. Makanya, wajar saja kita lumrah melihat orang terperangkap dalam label discount sehingga sangat mudah untuk mengeluarkan uangnya.

Sayangnya, angka yang terpajang pada label diskon bisa mempengaruhi pikiran dalam sekejap, alhasil uang yang tadinya banyak dalam waktu singkat bisa ludes. Ini disebabkan pengarus emosi ketika berbelaja.

Emotional spending juga masuk dalam katagori impulse spending, di mana keinginan membeli bisa lebih besar dari ketebalam dompet. Seringnya, orang akan menghabiskan banyak uang pada barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan.

Tanpa disadari, perilaku emotional spending ini akan sangat merugikan individu dalam jangka panjang. Selain hilangnya uang dalam seketika, keinginan membeli karena hasrat condong menjadi jebakan yang merugikan.

Kenapa emotional spending berbahaya?

Secara psikologi, keinginan membeli didorong karena kebutuhan. Meskipun demikian, para produsen barang sangat jeli dalam hal mempelajari spending behavior (hasrat membeli). Tidak heran, sekali saja Anda melihat iklan yang tampil di smartphone, maka akan datang iklan sejenis secara berurutan.

Nah, supermarket biasanya memberi sugesti kepada pembeli dengan tulisan DISCOUNT. Sekilas, tidak ada yang salah dengan tulisan discount, tapi jangan salah kalau ada sisi emosi yang terlibat saat membacanya.

Jika tidak percaya, silahkan deteksi keinginan membeli saat seketika terlihat kata discount, dan bandingkan dengan keinginan membeli barang-barang yang tidak berlebel kata tersebut.

Membeli sesuatu yang lebih murah adalah hal lumrah, jadi keinginan membeli akan barang berlebel discount sangatlah besar. Bisa saja barang yang ingin dibeli tidak masuk katagori keperluan, namun emosi yang sudah terlanjur muncul sulit ditepis.

Akhirnya, uang belanja yang semula dialokasikan untuk hal lain bisa saja ludes dalam sekejap hanya karena permainan emosi bersebab sebuah kata discount.

Emotional spending tidak serta merta datang karena murahnya harga, terkadang hasrat membeli yang menggebu bisa muncul karena iklan dengan penampilan menggugah atau visualisasi gambar yang sengaja diletakkan di sudut-sudut area pembelanjaan.

Ini memang sebuah metode marketing yang bertujuan untuk menarik hati pembeli bak magnet penarik logam. Tidak heran, anak-anak muda akan sangat gampang menghabiskan uang untuk sebuah earphone dengan harga fantastis saat berkeliling pusat pembelanjaan.

Tujuan awal memang bukan untuk membeli earphone, tapi hasrat tak bisa ditahan karena desakan nafsu yang sudah duluan masuk dalam jebakan iklan atau gambar visual.

Contoh lain, ketika sedang berbelanja bahan keperluan rumah, seorang istri melihat TV plasma tipe baru dengan sebuah tulisan memikat tepat di atas layar TV, lalu terlihat harga bulanan yang cukup masuk akal utuk pembayaran kredit.

Jadilah sang istri mulai berbisik ke telinga suami ,"pa, kayaknya TV ini fiturnya bagus, harganya juga ga mahal untuk dicicil". Sang suami perlahan mulai berpikir dan angka yang dilihat juga berhasil meyakinkannya.

Apa yang kemudian terjadi? sebuah TV plasma berhasil masuk dalam emosi kedua pasangan ini. Pada kenyataannya, TV yang ada di rumah masihlah berfungsi, hanya ukuran saja yang lebih kecil.

Hasrat membeli yang muncul saat itu tidak bisa ditolak, uang yang tidak seharusnya dikeluarkan akhirnya mengantri pada tagihan kartu kredit di bulan-bulan selanjtnya. 

Emotional spending tidak mengenal siapa pembeli. Siapa saja bisa terperangkap dalam halusinasi pemenuhan hasrat membeli saat itu juga. Niat boleh saja tidak terbentuk di awal ketika hendak membeli, tapi gejolak emosi siapa sanggup menahan.

Bagaimana Cara agar Tidak Terjebak Emotional Spending?

Layaknya orang yang sedang jatuh cinta, emotional spending bisa dihindari dengan mengontrol emosi saat membeli. Kalau seorang perempuan bisa untuk tidak mudah menaruh hati pada seorang lelaki puitis, maka saat membeli jagalah hati dengan baik.

Pahami Kebutuhan: Jika ingin keluar dari jebakan emotional spending, cukup mulai dengan memahami kebutuhan pribadi dengan baik. Misalnya dengan menganalisis apa yang sebenarnya kita butuhkan setiap hari. 

Lakukan expense check up! caranya dengan menganalisis apa saja yang kita beli sehari-hari, mingguan, bulanan. Kemudian, catat apa saja yang dianggap perlu dan gabung menjadi satu katagori.

Dengan cara ini, kita akan mampu memahami dan mengklasifikasi barang sesuai kebutuhan dan mengenyampingkan keinginan. Selain itu, pelajari harga setiap barang yang kita perlukan.

Membeli Harga Rendah: Ketika harga setiap barang sudah kita ketahui dengan jelas, berikutnya buatlah list belanjaan sesuai waktu. Belanjalah barang-barang sekalian, khusunya barang kebutuhan harian yang bisa dibeli seminggu sekali.

Supermarket pastinya memiliki jadwal discount tersendiri. Pelajari waktunya dan analisis harganya. Jika ada barang yang kita butuhkan masuk dalam kategori discount, maka bandingkan harga barang normal dengan harga discount.

Kalau ternyata harga discount lebih rendah, maka silahkan berbelanja di sana. Dengan strategi berbelanja seperti ini, kita tidak akan terjebak harga discount yang terkadang merugikan.

Lebih dari itu, kita akan mudah menahan hasrat membeli barang-barang yang bukan prioritas kebutuhan. Untuk jenis barang yang bisa tahan lama, belilah dalam jumlah lebih banyak.

Cara ini juga bisa menghemat uang transportasi. Bayangkan saja, kita bisa menabung puluhan atau bahkan ratusan ribu dalam sekali transaksi dengan hanya sekali beli saja.

Tidak perlu repot-repot memikirkan uang minyak untuk menuju tempat belanja dan sekaligus kita juga bisa menghemat waktu tanpa harus berbelanja berulang kali.

Hindari Membeli karena MOOD: Para remaja dan anak muda sangat mudah jatuh pada perangkap iklan. Hanya karena mood yang sedang sedih, mereka bisa dengan mudah berbelanja.

Sebaliknya, mood senang juga sering menjadi jebakan untuk berbelanja. Karena perasaan senang, akan sangat mudah untuk pergi ke kafe dan memesan sebuah minuman dan makanan yang harganya lumayan.

Apa yang terjadi setalah itu, uang jatah makan dua hari hilang dalam dua menit. Sebabnya hanya karena pelampiasan mood yang tidak bisa dikontrol dengan baik.

Oleh karena itu, saat senang maupun sedih, alihkan pada hal-hal lain yang lebih produktif dan hindari ucapan "sekali-kali kan gak apa-apa".

Ucapan seperti itu terdengar klise, tapi efeknya bisa sangat berbeda. Apalagi pada seorang perempuan yang sangat mudah terperangkap pada relung emosi dan sulit untuk mengontrol kegundahan hati.

Emotional spending dalam jangka panjang bukan hanya mempengaruhi kehidupan rumah tangga, bahkan untuk seorang yang masih single bisa mengarah pada impulsive buying.

Jangan menganggap sepele apapun yang melibatkan emosi untuk mencapai financial freedom, seseorang harus terlebih dahulu mampu melakukan analisis finansial pribadi.

Dalam konteks keluarga, ketahanan finansial sangat berdasar pada kemampuan pasangan memahami emotional spending dan menerapkan sistem pengeluaran berpatokan pada kebutuhan semata.

Untuk yang masih single, memahami emotional spending dengan benar akan menjadikan hidup lebih terkontrol dan pastinya melatih diri untuk melabuhkan hati pada barang yang tepat. eh...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun