Data yang dipaparkan tobaccofreekids.org menunjukkan jumlah angka kematian akibat rokok di Indonesia melebihi 200 ribu jiwa per tahun. Menariknya lagi, 33.8% perokok adalah para remaja berumur 15 tahun keatas dan 19.2% perokok berkisar antara 13-15 tahun.
Angka kematian yang disebabkan perokok juga berimbas pada mereka yang tidak merokok (second hand smokers). Setidaknya merujuk pada data dari sumber yang sama, 52 ribu dari 290 ribu yang meninggal per tahun adalah perokok pasif.
Sementara total biaya kesehatan untuk menangani efek merokok mencapai 27 trilyun, setara dengan 0.1% pendapatan negara Indonesia. Jumlah perokok terus naik, namun beban negara makin bertambah.Â
Lantas, apakah dengan kenaikan biaya cukai, jumlah perokok akan berkurang dan beban negara hilang?
Saya rasa tidak semudah itu!. Efek merokok itu sulit dihilangkan karena sifat candu yang terlanjur menetap di otak perokok. Untuk berhenti merokok, perokok bukan hanya perlu niat tapi juga tekad kuat.
Nah, kenaikan biaya cukai memang membuat harga rokok naik. Meskipun demikian, ini tidak serta merta menjadikan perokok kapok. Toh, ada banyak cara lain untuk mengakses rokok.
Permasalahan rokok di Indonesia tidak bisa hanya dilihat dari sidut pandang jumlah, namun perlu dianalisa secara mendalam bagaimana kemudahan akses rokok pada kaum remaja.
Tren merokok di Indonesia pada dasarnya sudah menjadi sebuah identitas kepribadian. Perokok erat kaitannya dengan kata 'keren', 'maskulin', 'maco'.
Lebel ini datang bukan tanpa alasan. Lihat saja iklan rokok, bagaimana tampilan pemeran iklan, pemilihan warna, sampai gambar yang dipampang besar di billboard di jalan utama perkotaan sampai spanduk di sudut pedesaan.
Fenomena perokok melekat erat pada setiap orang di Indonesia. Harga sebuah iklan rokok tidak murah, begitupula dengan target iklan yang diharapkan.Â
Ada harga yang harus dibayar dari setiap spanduk yang berkibar
Jalan-jalan di Indonesia dipenuhi dengan spanduk rokok. Ekspansi iklan rokok bukan hanya menciptakan efek jangka panjang dalam pikiran yang melihat, ada sisi psikologis yang ingin dikuasai iklan rokok.
Di Amerika, pada tahun 2019 jumlah uang yang digelontorkan untuk iklan rokok mencapai angka 8.2 juta milyar dolar. Sebuah angka yang fantastis bukan?
Bagaimana dengan Indonesia? tobaccowatch.seatca.org mencatat 8.6 trilyun Rupiah dibayar oleh perusahaan tobako untuk iklan roko di televisi, 1.9 trilyun berasal dari perusahaan Djarum.Â
Apakah perusahaan tobako terlihat bermain-main ketika mengeluarkan uang untuk iklan? Jelas tidak! mereka menargetkan generasi muda melalui image yang ditampilkan dalam iklan.
Lalu, seberapa banyak jumlah pajak yang didapat negara?
Indonesia memperoleh 10% dari hasil pajak rokok. Sebuah paper tahun 2020 berjudul A Policy Perspective on Tobacco Farming and Public Health in Indonesia, memaparkan sebuah fakta menarik.
Produksi daun tembakau mencapai angka 152,319Â ton pada tahun 2017. Pengeluaran biaya kesehatan mencapai 1.9 milyar dolar per tahun, ditambah 6.8 milyar dolar lainnya juga harus disiapkan sebagai biaya ekonomi yang harus ditanggung negara.
Satu hal pasti, pemerintah secara tidak langsung menganggap rokok sebagai 'pahlawan' penopang pendapatan negara. Betapa tidak, jumlah yang didapat dari rokok mencapai 143 trilyun pada tahun 2019.Â
Apa tujuan negara menaikkan biaya cukai rokok? Kita akui pemerintah mentargetkan penurunan perokok usia remaja dengan menaikkan pajak rokok, sehingga harga rokok akan naik.
Namun, pertanyaannya, apakah cara ini akan efektif dalam jangka panjang? kenapa tidak melarang iklan rokok yang jelas-jelas berefek buruk bagi yang melihat?
Regulasi dan kebijakan sejatinya harus berjalan seiringan. Jika pajak rokok dinaikkan, maka iklan rokok juga harus dimusnahkan. Lalu, berikan insentif bagi mereka yang berhasil berhenti merokok.
Caranya bagaimana? Nah, buatkan aplikasi khusus berhenti merokok untuk memantau pergerakkan perokok di kalangan remaja. Aplikasi memiliki fitur misalnya yang mana perokok mengakses rokok, jumlah rokok yang dihisap, dan lokasi merokok.
Tujuannya adalah untuk menganalisa tren pembelian rokok, total rokok yang dihabiskan per hari dan lokasi yang digunakan untuk merokok. Kenapa ini penting?
Jumlah perokok pasif yang meninggal kian meningkat, bahkan bisa melebihi perokok aktif. Artinya, kawasan perokok perlu dipetakan untuk membuat kebijakan yang mentargetkan area publik.
Larangan merokok harus dibuat dengan hukuman yang merugikan, baik secara moril atau psikologis. Dengan memakai aplikasi, pemerintah akan lebih terarah dalam menciptakan kebijakan preventif.
Selain itu, pemerintah perlu memberi insentif bagi mereka yang berhasil keluar dari kebiasaan merokok, misalnya dengan memberikan beras tiga bulan sekali atau bisa juga dengan pemberian sembako per tiga bulan.
Dengan begini, orang-orang akan tertarik untuk tidak merokok lagi. Disamping itu, pemerintah juga perlu memetakan jenis pekerjaan pengganti tembakau.
Menaikkan pajak rokok tidak akan efektif jika tembakau masih diproduksi secara masif. Alangkah lebih bijak jika pemerintah juga mulai berpikir bagaimana mengalihkan tembakau ke jenis tanaman lain yang menjanjikan.
Sebagai contoh, membuka ribuan hektar lahan baru untuk pertanian di lokasi pertanian tembakau dan perlahan menggantikan ke jenis tanaman hotikultura yang bisa mencukupi kebutuhan dalam negeri dan menghilangkan ketergantungan impor dari negara lain.
Cara lain bisa juga dengan mengubah pola pertanian dengan menggabungkan perternakan dan pertanian dan membangun konsep wisata nasional berbasis agribisnis.
Bukankah Indonesia memiliki tanah yang subur? kenapa tidak berpikir lebih jenius ke arah modifikasi pertanian dengan penerapan teknologi, lalu gait perusahaan startup lokal untuk menginvestasi uang mereka.
Pemasukan negara dari tembakau bisa digantikan dengan jenis bisnis baru yang lebih menguntungkan. Lapangan kerja juga akan terbuka lebar tanpa harus takut kehilangan pekerjaan akibat dlarangnya produksi tembakau.
Ya, ini memang butuh niat dan tekat bulat untuk menghilangkan rokok dari tangan remaja Indonesia. Namun, menaikkan pajak secara sepihak mungkin saja terlihat bijak, namun orang akan bertambah galak dan mungkin saja suka memalak.Â
Bukankah itu sama dengan mencekak?
Referens bacaan: 1, 2, 3, 4, 5, 6
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H