Kedua istilah ini (quiet firing & quiet quitting) menjadi frasa baru yang muncul ke permukaan baru-baru ini. Adapun quiet quitting muncul lebih dahulu sebagai tanggapan para pekerja terhadap lingkungan kerja, sementara quiet firing menjadi sebuah respon atasan terhadap kualitas kerja bawaan.
Tentunya istilah quiet quitting tidak dikenal oleh kalangan baby boomers (mereka yang lahir tahun 1946-1964) dan  generation x (mereka yang lahir pada tahun 1965-1980) dan juga generation z (mereka yang lahir pada pertengahan tahun 1990-2010).Â
Jika merujuk pada Wikipedia, istilah quiet quitting baru muncul pada 2009 saat simposium ekonomi di universitas Texas A&M dipelopori oleh Mark Boldger. Walaupun demikian, dari segi aspek kerja dan budaya, quiet qutting sudah mulai dikenal dalam ranah perfileman dengan menghadirkan budaya kerja yang menuntut.
Nah, pada tahun 2022 istilah quiet quitting muncul lagi ke permukaan dan menjadi viral akibat banyaknya fenomena pekerja yang berhenti dalam senyap karena 'beratnya' tuntutan kerja.
Bagi para baby boomers, mental quiet quitting terdengar cemen. Kehidupan yang lebih keras dengan lowongan kerja terbatas bagi kaum baby boomers menjadikan titik pandang berbeda pada frasa yang sama.
Wajar saja apa yang menjangkit para milenial atau sebagian dari generasi z tidaklah sama dengan apa yang dihadapi para baby boomer. Kondisi kerja dan beban kerja tanpa teknologi saat dahulu menjadi penentu kualitas mental.
Manajemen dan kultur kerjaÂ
Quiet quitting pada dasarnya muncul karena anggapan beban kerja yang tak seimbang dengan gaji yang diterima pekerja, sehingga banyak pekerja yang merasa 'dirugikan' dan berhenti dalam senyap.
Faktor lain juga bersebab karena adanya dorongan untuk bekerja di tempat lain dengan bayaran yang lebih baik. Banyaknya pilihan pekerjaan dengan mode online dan offline menjadi kultur quiet quitting semakin marak.Â
Hal serupa tidak mudah didapat oleh para baby boomers, dimana pekerjaan masih terbatas pada offline saja. Jelas saja istilah ini tidak populer saat itu.