Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Tiga Faktor Utama Penyebab Bisnis Mundur dan Hancur

6 Desember 2021   15:50 Diperbarui: 6 Desember 2021   21:50 1070
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini saya berkunjung ke sebuah showroom motor terbesar di tempat saya tinggal. Karena saya datang paling cepat akhirnya saya dipersilahkan duduk karena karyawan sedang di-briefing oleh atasan. 

Dari pojok sebuah meja saya tanpa sengaja mendengar permasalahan yang dibicarakan oleh atasan dengan nada lumayan besar. 

Saya bisa menangkap pesan bagaimana atasan sedikit terlihat marah karena penjualan yang merosot. 

Di tulisan kali ini saya akan membahas beberapa hal yang menyebabkan sebuah bisnis bisa hancur atau sering disebut collapse.

Ini adalah sebuah opini saya pribadi merujuk dari pengalaman, hasil bacaan, dan realita lapangan.

1. Pelayanan yang Kurang Ramah 

Apapun jenis bisnis yang menuntut interaksi dengan pelanggan, pelayanan adalah gerbang utama. Customer service menjadi kunci awal untuk majunya sebuah bisnis. 

Sering saya menemui bisnis dengan pelayanan yang kurang ramah disebabkan customer service tidak memiliki skil komunikasi yang baik.

Sebagai pelanggan, pastinya kita ingin dilayani dengan baik, setidaknya secara ramah. Sebagai contoh, dua hari yang lalu saya ingin memperbaiki sebuah koper yang rusak di sebuah jasa perbaikan koper/tas. Setibanya di sana, saya mengamati pola komunikasi customer service.

Saat saya bertanya jenis reparasi yang ada, customer service menjawab sekenanya saja. Hanya sedikit informasi yang yang bisa saya dapat dalam waktu lima menit. 

Seharusnya, seorang customer service harus mampu 'memikat' pelanggan dengan pelayanan yang informatif di lima menit pertama.

Sikap yang tidak ramah dan jawaban yang tidak responsif membuat saya enggan memperbaiki koper. Tapi, karena alternatif lain tidak ada akhirnya saya iyakan saja dengan harga yang menurut saya mahal untuk perbaikan yang sederhana. Jika saya punya pilihan lain, sudah barang tentu saya tidak memperbaiki disana.

Sorenya saya kembali, untuk mengambil tas lainnya yang kebetulan saya titip disana karena tidak bisa dikerjakan secara cepat. Tak sengaja mata saya tertuju ke toko lain yang rupanya juga jasa perbaikan koper/tas.

Tanpa menunggu lama, saya langsung kesana dan bertanya apakah bisa memperbaiki tas yang saya bawa. 

Di sini saya mendapati customer service yang lebih responsif dan informatif. Informasi harga yang lebih jelas dan jenis perbaikan yang ditawarkan pun lebih baik dengan pilihan alternatif.

Saya juga mendapati harga jauh lebih murah dari toko pertama, 50% harga di tempat pertama. 

Dalam hati saya sedikit kesal kenapa tidak melihat ada toko reparasi lain disini. Yah, mungkin ini jadi pelajaran buat saya sekaligus sumber tulisan. hehe

Perbedaan harga yang mencolok dan cara menghadapi pelanggan menjadi jurang pemisah antar kedua toko ini. Yang satu hanya fokus pada product, sementara yang satunya memiliki product dan service yang baik.

Ilustrasi bisnis merosot | Sumber: depositphotos
Ilustrasi bisnis merosot | Sumber: depositphotos

Pemilik toko pertama mungkin tidak menyiapkan customer service yang handal, sehingga ini menjadi ancaman bisnis yang nyata. 

Boleh jadi ia memiliki product yang bagus atau lengkap, tapi pintu untuk menjemput pelanggan terhalang oleh customer service yang tidak ramah.

Seorang customer service yang ramah tidak saja mendatang banyak pelanggan, tetapi juga menjaga jumlah pelanggan tetap, atau istilah lainnya repeat buys. 

Bayangkan saja jika memiliki 50 pelanggan setia dan masing-masing merekomendasi ke keluarga dan teman, berapa pelanggan baru yang bisa didapatkan?

Sebaliknya, dengan skil komunikasi yang buruk dan tidak ramah, seorang customer service bisa tanpa sengaja membuat pelanggan tetap tidak kembali lagi, dan tentunya tidak mau merekomendasi ke teman atau keluarga. Apa yang terjadi untuk bisnis seperti ini? jawabannya hanya 1,cepat atau lambat akan COLLAPSE.

2. Harga yang Tidak Tepat

Persoalan kedua ada pada harga yang tidak sesuai. Contoh pada kasus saya di atas, perbaikan resleting koper harga Rp 50.000 sementara di toko terdekat hanya Rp 25.000 paling mahal, bahannya sama dan durasi pengerjaan juga sama.

Perbedaan harga yang mencolok bisa menghilangkan trust pelanggan. Artinya, untuk apa harus buang uang dua kali lipat dengan pengerjaan dan kualitas yang sama. Jelas ini tidak masuk akal. 

Kadang banyak bisnis yang ingin meraih untung besar, tapi melakukan hal yang salah atau tidak tepat. 

Menentukan harga atau jasa di luar harga pasar adalah kecerobohan yang bisa berakibat fatal. Calon pembeli atau pelanggan bisa dalam sekejap beralih ke pilihan lain. Bukankah ini sangat merugikan?

Ada baiknya pelaku bisnis melakukan observasi berupa kajian kelayakan harga atas sebuah produk baru kemudian menentukan harga yang sesuai. Jika ingin harga lebih mahal, maka berikan kualitas lebih dan jaminan lebih. 

Dalam ilmu marketing ada istilah sell the results, not the procedures. Artinya, sebuah product atau jasa harus memiliki daya beli karena kelebihan dari segi manfaat ketika dipakai, bukan karena rentetan keunggulan product.

Seorang customer service harus memahami bahwa untuk menggait calon pelanggan atau pembeli maka skil komunikasi itu krusial. 

Jangan menawarkan product dengan memberi penjelasan panjang akan kelebihan, tapi jelaskan jika membeli product atau memakai jasa mereka maka manfaatnya seperti apa. 

Sebenarnya tidak masalah harga yang mahal asalkan product atau jasa yang ditawarkan makes sense. Misalnya, ada kelebihan yang tidak didapat di tempat lain dan kualitas yang terbukti dengan garansi beberapa hari. Kebanyakan bisnis skala kecil atau menengah tidak berani memberi garansi karena faktor tidak mau rugi.

Padahal, secara jangka panjang pola penjualan product atau jasa tanpa meyakinkan pelanggan dengan bukti berupa garansi akan membuat bisnis merosot. Ya, tentu tipe garansi bisa menyesuaikan jenis product atau jasa yang dijual.

3. Tidak Ada Evaluasi Berkala

Kenapa evaluasi penting? sebuah bisnis tidak bisa diukur kemajuan kecuali dengan adanya evaluasi, baik itu harian, mingguan, bulanan, atau tahunan. 

Katakanlah sebuah bisnis warung kopi perlu melihat berapa gelas kopi yang berhasil dijual setiap minggu dan jenis kopi apa yang paling laku. Begitu juga dengan jenis kue yang paling diminati pelanggan.

Dengan adanya evaluasi mingguan, daya jual product bisa diprediksi dan diukur secara sederhana. Data yang terkumpul bisa menjadi masukan terhadap jenis product apa yang perlu dibenah atau ditingkatkan, baik secara penyajian ataupun kualitas.

Pernah suatu ketika saya sengaja duduk di beberapa warung kopi untuk melihat seberapa cepat service dilakukan dan jenis product apa yang ditawarkan.

Lucunya, ada warung kopi yang membiarkan pelanggan duduk lebih dari lima menit baru kemudian ditanyakan mau minum apa. Sementara setelah kopi disajikan kue tidak diletakkan dan dibiarkan di meja belakang.

Dalam hati saya berpikir sejenak wajar saja tidak banyak pengunjung. Dengan pola penyajian yang lambat dan mekanisme mengambil kue sendiri bukanlah solusi yang baik untuk menggait pelanggan baru dan mempertahankan pelanggan lama. 

Ada juga cafe dengan pilihan menu yang sangat terbatas. Dilihat dari dekornya sangat menjanjikan, eh ketika menu tiba dan dipesan ternyat banyak yang tidak tersedia. Alasannya stok habis dan lain-lain.

Jenis usaha bisnis seperti warung kopi, cafe, rumah makan atau sejenisnya harus benar-benar fokus pada customer service. Karena mereka akan berada didepan pertama kali menghadapi pelanggan. 

Dari kacamata customer service sebuah usaha bisnis bisa dievaluasi secara berkala. Seorang customer service yang baik akan memiliki data tentang jenis pelanggan yang loyal dan royal. Data ini bermanfaat sebagai evaluasi bisnis secara bulanan.

Sedikit kembali ke cerita awal, saat saya menunggu giliran di showroom/dealer, para karyawan yang sedang di-briefing kena teguran dari atasan karena buku tamu yang terisi asal-asalan. 

Customer service banyak yang lalai sehingga banyak 'calon' pembeli yang tidak meminta tamu untung mengisi buku daftar kunjungan. Akhirnya, potensi untuk menggait pembeli baru bisa hilang begitu saja.

Kesalahan ini terlihat kecil di mata customer service tapi tidak di mata atasan. Kenapa? Karena pelanggan yang sudah berkunjung punya kemungkinan besar untuk datang lagi membawa 'calon' pembeli lain. Tanpa nomor HP yang tertulis sudah barang tentu karyawan tidak bisa menghubungi prospek baru.

Jadi, data seperti buku tamu, jumlah pembeli harian, mingguan sampai tahunan bisa menjadi rujukan untuk evaluasi skala kecil atau bahkan besar. 

Kesalahan kecil akan terlihat dari data yang dikumpulkan secara berkala. Dengan data ini, kinerja bisa diperbaiki dan profit bisa dicapai lebih baik.

Ada banyak usaha kelas menengah ke bawah yang gagal mengevaluasi karyawan karena ketiadaan data harian. Misalnya, sebuah toko kelontong bisa bangkrut dalam satu bulan jika tidak memiliki catatan pendapatan dan penjualan (income and expense).

Begitu juga dengan data jenis makanan/minuman apa yang lebih laku. Angka-angka dari penjualan harian adalah sumber evaluasi untuk sebuah bisnis. Baik itu bisnis kecil atau besar, keduanya membutuhkan evaluasi harian yang terperinci dan konsisten.

Coba perhatikan bisnis yang sudah memiliki cabang di mana-mana, Sturbucks misalnya memiliki jenis kopi yang bervariasi dengan harga yang berbeda dan kualitas yang juga beda. 

Mereka memiliki data yang detail tentang jenis kopi apa yang laku lebih banyak perhari dan total pendapatan. Data ini kemudian dipakai untuk dievaluasi terhadap perbaikan citarasa kopi yang ditawarkan atau jenis minuman lain yang ditawarkan. 

Sama seperti KFC dan Mcdonald, mereka sangat memperhatikan kualitas customer service dan data pembelian harian terhadap jenis minuman dan makanan atau paket yang disodorkan ke pelanggan. 

Semua ini disebut dengan built-in system. Secara ringkas pola penyajian, rasa minuman dan makanan yang terukur, paket yang berubah secara berkala, harga yang fleksibel dan mudah dijangkau adalah by design. Semua dibuat karena punya tujuan untuk menggait 'mangsa' secara halus.

Ternyata, memang benar, kualitas pelayanan itu lebih penting dari harga yang tertera. Sebagai seorang pembeli, mood kita bisa berubah drastis jika tidak dilayani dengan baik. Ini menjadi kunci utama bagi kompetitor untuk mencuri pelanggan dengan halus, yaitu pelayanan terbaik!

Kenapa cafe atau warung kupi ada yang bertahan dan ada yang collapse lebih cepat? Jawaban simpelnya karena pelayanan yang tidak diindahkan dan kualitas minuman dan makanan yang tidak dijaga.

KFC dan sejenisnya bisa berhasil membangun rantai bisnis karena mereka membangun system yang baik dan kuat. 

Standar pelayanan yang baik dan kualitas makanan yang terjaga menjadi sebuah rantai pengikat pelanggan. Tidak percaya? Coba saja buktikan. Hehe 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun