Mungkin inilah mengapa mayoritas orang Aceh tetap memegang prinsip jujur dalam hidup. Kemanapun mereka pergi dan dalam keadaan apapun, berkata jujur adalah prinsip hidup.
Disisi lain, Hadih Maja ini mengajarkan bagaimana seseorang harus bersikap dan bertutur. Menjaga lisan dan berkata apa adanya mengajarkan untuk tidak berbohong serta tata-krama dalam kehidupan masyarakat Aceh.
2. Buet nyang geujue narit nyang geulake, Sagai han me mubantah haba.
'Pekerjaan yang disuruh perkataan yang diminta, Sekali-kali tak pantas membantah pembicaraan'. Begitulah makna Hadih Maja diatas.Â
Nilai yang dapat diambil dari Hadih Maja ini adalah nilai kepatuhan. Dalam konteks kehidupan masyarakat Aceh, mendengar menduduki urutan penting sebelum bertindak.
Seseorang diharapkan untuk melakukan sesuai yang diperintahkan. Dengan nilai keagamaan yang sangat kuat, wajar jika masyarakat Aceh tempo dulu sangat menitikberatkan melakukan sesuatu sesuai yang diamanahkan.
Begitu juga dalam konsep mendidik anak dalam keluarga, anak dibesarkan dengan sopan santun dan patuh kepada orangtua. Artinya, anak dilarang menyahuti apalagi membantah orangtua.
Kultur masyarakat Aceh yang selalu mengedepankan nilai-nilai agama membuat ucapan orangtua lebih didengar anak ketimbang orang lain. Selain nilai falsafah yang kental, Hadih Maja ini juga menjadi prinsip hidup yang terbawa dalam pikiran bawah sadar.
Diluar konteks keluarga, membantah adalah sebuah aib yang dapat membuat malu keluarga. Biasanya anak dengan tutur kata jelek dan membantah akan ditanyakan siapa orangtuanya.Â
Tentu saja anak yang suka membantah akan membuat malu keluarganya, terlebih kepala keluarga yaitu ayah. Oleh karena itu, anak-anak dalam masyarakat Aceh tidak suka membantah dan lebih mengedepankan nilai kesopanan dalam bertindak.
3. Jeumpa ub jiplueng, Bulueng ub jiteuka.