Perlu dipahami kata "manja" dalam konteks tulisan ini bermakna memperlakukan anak dengan perlakuan khusus sehingga anak tidak mandiri dan sangat bergantung pada orangtua. Istilah ini dikenal dengan spoonfed generation.
Saya yakin sebagian pembaca adalah orangtua yang sudah memiliki anak dan ada di antaranya yang memiliki anak laki-laki. Dengan tulisan ini setidaknya saya ingin menyampaikan sebuah opini yang akan bermanfaat.
Fakta di lapangan membuktikan bahwa anak laki-laki yang dimanja secara berlebihan akan tumbuh menjadi pribadi yang rapuh dan condong tidak bisa mewarisi jiwa pemimpin.
Kembali ke pokok permasalahan, kenapa anak laki-laki tidak boleh dimanja?
Anak laki-laki punya andil besar dalam sebuah keluarga. Hampir semua keluarga menginginkan anak laki-lakinya menjadi sosok pribadi yang ketika dewasa menjadi tombak keluarga.Â
Setidaknya, anak laki-laki diharapkan menjadi pengganti sosok ayah saat tiada dan menjadi tulang punggung keluarga ketika badai menerpa.Â
Namun, sangat sedikit keluarga yang Mempersiapkan anak laki-laki menjadi seorang Pemimpin sedari kecil. Pokok permasalahan ada pada pola asuh cara memperlakukan anak laki-laki.Â
Tidak Mendisiplinkan Anak Laki-Laki Saat Kecil
Banyak keluarga yang tidak sadar bahwa cara mereka memperlakukan anak laki-laki menjadikan mereka "bom waktu" yang akan meledak saat dewasa.Â
Hal ini dipicu dari cara berinteraksi dan berkomunikasi saat kecil. Sehingga, saat dewasa anak laki-laki merasa seperti "raja" dan berharap terus diperlakukan demikian tanpa merasa bersalah.
Sini nak, biar ibu yang bantu
Biar ibu yang cuci saja ya
Nanti ibu yang bersihkan tempat tidurnya ya
Bentar lagi bangun ya, tidur saja dulu tidak apa nanti ibu bangunin
Apakah kita sering mendengar kalimat di atas? Atau mungkin sebagai anak laki-laki kita sudah terbiasa dengan kata-kata di atas? Atau mungkin sebagai orangtua itu adalah rutinitas kita bersama anak?
Sekilas tidak ada yang salah dengan kalimat di atas, tapi jika diperhatikan kalimat sederhana di atas ibarat sebuah "bom" yang kita rakit secara perlahan dan akan meledak dengan sendirinya saat waktunya tiba.
Ayah dan ibu, perlu kita pahami bahwa awal mula ketidakmandirian pada anak laki-laki dimulai dari cara kita berkomunikasi dan berinteraksi dengan mereka. Seringkali sebagai orangtua kita "berniat baik" tapi dengan cara yang tidak tepat.Â
Sederhananya begini, banyak orangtua di luar sana yang tidak melibatkan anak laki-laki ketika berurusan dengan hal-hal sederhana dalam rumah.Â
Mereka memperlakukan anak laki-laki layaknya seorang "raja", semua disiapi dan disediakan dengan baik. Kebiasaan yang akhirnya menjadi rutinitas akan menjadi sebuah "habit" bagi anak laki-laki.Â
Secara tak sadar mereka akan menerjemahkan ini sebagai hal yang wajar. Mereka tidak akan belajar disiplin Karena kebiasaan "menerima" dan diperlakukan istimewa.
Lantas, apa yang terjadi saat anak laki-laki mulai beranjak dewasa?
Mental yang Rapuh dan Sulit Berempati
Percaya atau tidak, anak laki-laki yang condong dimanja memeliki dua kelemahan yang justru menghancurkan mereka sendiri.Â
Pertama, kebanyakan dari mereka tidak memiliki mental yang kuat saat ditimpa masalah. Coba perhatikan betapa banyak anak laki-laki di luar sana yang mudah sekali menyerah saat diterpa masalah. Bahkan, saat dihadapi dengan kegagalan, tidak sedikit dari mereka sangat mudah menyerah.Â
Hal ini diawali dari kebiasaan masa kecil yang sering dibiarkan dalam kenyamanan. Makan yang selalu disediakan, keperluan yang selalu disiapkan, dan tidak pernah dilibatkan untuk membantu dalam rumah.Â
Mungkin, ada di antara kita yang bertanya, "Loh, kan memang semestinya anak diperlakukan begitu?"Â
Jawabannya, "Tidak!"
Pembiasaan menjadi sebuah kebiasaan dan membentuk kepribadian. Banyak anak laki-laki yang tidak bisa bertahan dalam pekerjaannya karena faktor terbiasa dimanja dan akhirnya menjadi jobless karena terlalu memilih-milih pekerjaan.Â
Sebagian lainnya tidak siap bersaing karena saat kecil terbiasa dibiarkan santai hingga mengatur waktu saja tidak bisa. Menyedihkan bukan?
Kedua, rasa empati tidak tertancap dalam kepribadian anak laki-laki yang sering dimanja. Kebiasaan menyediakan segala hal bagi anak laki-laki menjadikan mereka sulit mewarisi sifat empati.Â
Hal tersebut terbentuk dari pelayanan istimewa saat kecil dan jarang dibiarkan membantu dalam rumah. Rasa sayang berlebihan yang tercurahkan dari orangtua membentuk pola pikir yang salah bagi anak.Â
Mereka menganggap bahwa sebagai anak laki-laki semuanya bisa didapat tanpa berusaha. Saat dewasa, kebiasaan ini terbawa dan perlahan menjadi bagian dari kepribadian mereka.
Siapa yang dirugikan?
Orangtua adalah orang pertama yang sangat dirugikan dalam hal ini.Â
Saya sering melihat orangtua yang kewalahan menghadapi anak laki-laki mereka sendiri. Karena jarang atau bahkan tidak pernah dilibatkan dalam aktivitas rumah tangga, anak laki-laki merasa tidak perlu membantu.Â
Ada di antara mereka yang tidak tergerak untuk mencuci piring atau sekadar menyapu rumah. Kenapa?Â
Karena tidak sedikit yang beranggapan bahwa mencuci piring dan membersihkan rumah adalah tugas anak perempuan. Lalu, dari mana anak laki-laki memiliki pola pikir seperti ini? Jawabannya sangat sederhana "kebiasaan", apa yang selalu dilihat akan menjadi sebuah pembenaran.
Lalu, apakah masalah berhenti pada orangtua? Tidak, bahkan, saat menikah anak laki-laki bisa sangat kewalahan karena kebiasaan yang salah saat kecil.Â
Seringkali masalah dalam rumah tangga berawal dari hal-hal kecil yang sebenarnya sangat simpel. Ada suami yang sulit sekali membantu istri untuk sekedar mencuci piring atau membantu menyuci baju.Â
Kenapa? Jawabannya sama, karena saat kecil mereka terbiasa dicucikan dan jarang diajak untuk membantu orangtua.Â
Parahnya lagi, ada yang sengaja mengajak orangtua tinggal bersama untuk mengurus anaknya dengan alasan tidak bisa mengurus anak.Â
Kenapa? Yaaaa karena sampai dewasa anak laki-laki selalu diperlakukan seperti anak kecil.
Apa yang harus diperbaiki?
Ayah dan ibu, perlakukan anak laki-laki sebagai seorang pemimpin. Cukup sediakan makanan dan keperluan mereka sesuai umurnya.Â
Saat mereka sudah mulai besar, ajak mereka terlibat dalam rumah semisal cuci piring, menyapu dan hal-hal mendasar yang lainnya yang perlu dibentuk.
Jiwa kepemimpinan dibentuk dari nilai kedisiplinan. Anak laki-laki harus dibiasakan untuk hidup teratur. Berikan apa yang mereka perlukan sesuai kebutuhan.Â
Jangan membiarkan anak laki-laki hidup tanpa nilai. Ajari mereka nilai waktu dengan jam tidur yang teratur dan bangun lebih awal serta aktivitas yang positif.
Ajak anak laki-laki untuk terlibat dalam rumah tangga. Mereka harus belajar nilai membantu agar rasa empati terbentuk. Sebagai laki-laki, mencuci piring itu bukanlah hal memalukan. Ketika Besar nanti saat ibu sakit atau saat menikah istri sedang sakit, siapa yang akan membantu? Tentunya sebagai laki-laki ini hal yang harus diwarisi, bukan sekedar harta saja yang diwarisi.
Saya pernah suatu ketika mendengar curhatan seorang anak laki-laki yang saat itu tidak mampu membayar biaya kursus.Â
Kebetulan saat saya tawarkan beasiswa, ia bercerita bahwa sebenarnya ia anak seorang pengusaha kaya di sebuah kabupaten.Â
Lalu, Saya bertanya menapa ia tak mampu membayar. Singkat cerita, ia pun bercerita panjang bahwa saat kecil ia dibiasakan santai dan sangat dimanja.Â
Segala kebutuhan disediakan, sampai bangun tidur pun dibiarkan terlambat tanpa ditegur. Kebiasaan ini terus berlanjut sampai dewasa. Hal yang sama juga berlaku bagi adik-adiknya yang kebetulan semua laki-laki.
Tiba lah saat musibah datang. Sang ayah ditimpa musibah sakit yang mengharusnkannya istirahat. Usahanya pun terbengkalai tanpa ada yang mengurus. Perlahan omsetnya menurun drastis karena biaya operasional yang besar tak dapat dibendung. Saat itu anak laki-lakinya tidak bisa membantu apa-apa.
Sampai lah keluarga ini pada titik terendah, di mana hampir seluruh harta terkuras untuk berobat dan usahanya mulai tak terkontrol.Â
Mulailah anak laki-laki ini sadar karena umurnya yang tidak lagi kecil. Keperluannya tak lagi bisa dipenuhi orangtua, sementara ia sedang merantau di kota.
Saya menyarankannya mencari kerja agar bisa setudaknya membantu dirinya dan mungkin membantu orangtua semampunya.Â
Ia sebenarnya sangat ingin membantu tapi karena kebiasaan hidup nyaman membuatnya tidak mewarisi rasa percaya diri yang baik sehingga sangat sulit baginya mendapat pekerjaan dengan kepribadiaanya.
Di sini saya mulai melihat sebuah penyesalan dari raut wajahnya. Dengan postur tubuh yang kekar, ia pun tidak bisa berbuat banyak. Bukan karena tidak mampu, tapi kebiasaan serba ada membuat otak tak mampu keluar dari zona aman.Â
Bicaranya terlibat berat walau keinginan untuk survive sangat besar. Di sini saya belajar bahwa pola asuh dengan nilai kedisiplinan itu adalah sebuah kewajiban.
Ini adalah satu dari sekian banyak cerita yang saya dengar sendiri dari penyesalan seorang anak laki-laki yang hidup serba ada dan Kaya.Â
Tapi, tapi roda hidup terus berputar. Harta yang berlimpah jika tidak diwarisi dengan benar maka akan menjadi sebuah "bom waktu" yang siap meledak kapan saja.
Ayah dan ibu, perlakukan anak laki-laki seperti seorang pemimpin. Didiklah mereka dengan nilai-nilai kedisiplinan dan ajarkan mereka nilai empati dengan cara berbagi dan membantu.
Jangan biarkan mereka hidup tanpa makna, biarkan mereka mewarisi nilai-nilai kehidupan dari pola asuh yang benar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H