Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kekurangan Pakar di Berbagai Bidang Keilmuan, PR bagi Bangsa Indonesia

29 Januari 2020   11:14 Diperbarui: 2 Februari 2020   17:46 969
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu pagi saya menghabiskan waktu bersama teman untuk  membahas dilema pendidikan di Indonesia. Perbincangan kami mengarah ke akar masalah pengangguran dan minimnya ahli di berbagai bidang keilmuan. 

Salah satu faktor munculnya pengangguran berawal dari krisis konselor di tingkat remaja sekolah menengah. Yang saya maksud konselor di sini adalah individu yang benar-benar berfungsi sebagai tempat curhat bagi siswa dan membimbing siswa mendapati solusi terhadap permasalahannya. 

Mari kita lihat secara dekat bagaimana peran konselor di sekolah.

Masa usia sekolah menengah adalah masa transisi remaja menuju kampus. Di sini siswa harus sudah mendapati informasi tentang keahlian apa yang akan mereka geluti kelak setelah sekolah selesai. Tentu saja tanpa bimbingan siswa akan mengalami masalah serius dalam menentukan pilihan jurusan di kampus. 

Nah, di sinilah awal mulanya permasalahan muncul yang nantinya menyebabkan pengangguran. Banyak siswa bahkan mayoritas siswa sekolah mengalami kebingungan untuk memilih jurusan saat hendak kuliah.

Lemahnya fungsi konselor di sekolah membuat siswa condong memilih jurusan karena kemauan orangtua, ikut-ikutan teman, dan memilih sesuai tuntutan masyarakat (jurusan yang punya nilai jual). 

Alhasil, realita di lapangan kita melihat banyak sekali siswa sekolah yang "gagal" menentukan masa depan karena faktor salah pilih jurusan. Ini adalah musibah terbesar yang menyebabkan rusaknya generasi.

Kenapa hari ini kita kekurangan pakar yang memiliki keahlian khusus? Jawabannya karena di masa sekolah siswa tidak mendapatkan bimbingan menentukan minat/bakat.

Sadar atau tidak, umumnya sekolah hanya fokus pada proses transfer ilmu dan mengabaikan fungsi konselor. Hakikatnya, konselor tidak hanya menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan siswa yang 'bermasalah', namun juga memiliki peran sebagai pembimbing/penasehat minat siswa.

Lalu, apa hubungan dengan pengangguran? 

Hari ini yang menjadi masalah terbesar kita adalah tidak relevannya antara bidang ilmu dan ladang kerja. Dari awal saat menentukan jurusan calon mahasiswa tidak memahami tujuan (goal) arah perjalanan mereka saat hendak kuliah.

Ditambah lagi tidak adanya target ke mana ia akan mengaplikasikan ilmu yang ia dapat dari kuliah nantinya. Akhirnya, mereka akan condong berharap kerja dari pemerintah dan memiliki pola pikir sempit tentang makna 'kerja'.

Kenapa hari ini masih 'impor' tenaga ahli dari luar negeri?

Walau dalam beberapa hal di Indonesia sudah memiliki pakar di bidangnya, boleh dikatakan dalam skema besar kita masih sangat tergantung dengan dunia luar. Kenapa?

Salah satu jawabannya, karena transisi masa sekolah ke masa kuliah tidak mengedepankan menghasilkan para pakar yang memiliki keahlian khusus. Ini yang menjadi gap terbesar dalam dunia pendidikan di negara kita hari ini. 

Apa yang seharusnya dilakukan? 

1. maksimalkan fungsi konselor di sekolah menengah
2. sekolah dan universitas harus kerjasama
3. Tes masuk universitas harus dibuat berbeda sesuai jurusan

Saya akan coba membahas ketiga poin di atas dengan detail agar jelas ke mana arah tujuannya. 

Pertama, setiap sekolah di tingkat menengah wajib memiliki konselor disesuaikan dengan jumlah siswa. Konselor ini harus memiliki ilmu di bidang psikologi, neurologi, dan pemahaman tentang dunia kampus dan kerja. Lebih bagusnya jika konselor dibagi sesuai bidang keahliannya. 

Apa tugas konselor? Mereka berfungsi sebagai jembatan bagi siswa yang hendak menyerang ke dunia kampus. Para konselor memiliki kewajiban memberikan informasi tentang dunia kampus dan dunia kerja.

Mereka juga harus benar- benar memahami minat dan bakat siswa dengan menyediakan tes minat/bakat gratis disekolah. Siswa harus diberikan akses untuk mengetahui siapa mereka dan apa bakat mereka. 

Selanjutnya, siswa yang sudah mengetahui minat/bakat mereka diberikan kesempatan untuk mengenal kampus lebih dekat. Nah, di sinilah peran kerja sama sekolah dan kampus.

Siswa kelas 2 sekolah menengah harus sudah memiliki akses mengunjungi kampus. Tujuannya agar mereka mendapat pengalaman langsung melihat kampus dari jarak dekat dan mempelajari jurusan apa yang kelak ingin ia tuju. 

Katakanlah dari hasil tes minat/bakat ia mendapati gambaran jurusan arsitek, maka berikan akses untuk mengunjungi jurusan arsitek dan kalau perlu beri kesempatan untuk hadir dalam perkuliahan mata kuliah tertentu 1-2 kali tatap muka. 

Dengan adanya visitasi ke universitas, calon mahasiswa benar-benar memahami tujuan mereka. Melihat langsung proses perkuliahan juga menjadi gerbang untuk membuka sudut pandang mereka tentang kampus.

Jadi, bukan hanya belajar teori semata dari apa yang mereka dengar di sekolah. Siswa perlu tahu fakta di lapangan bagaimana sehingga keputusan mengambil jurusan hadir karena pemahaman yang baik. 

Yang ketiga, kampus perlu membuat tes berbeda. Saya menilai tes untuk masuk ke kampus di Indonesia tidak relevan dan tidak bertujuan menghasilkan pakar. Mana mungkin kita bisa menilai calon dokter, guru, arsitek, ilmuwan dengan cara memberikan satu jenis tes yang sama? Kalau menurut saya ini sama saja seperti menyeleksi tanpa seleksi. 

Mau diakui atau tidak, pola tes masuk kampus tidak menyaring calon mahasiswa di bidangnya, melainkan menyaring pakar yang bukan di bidangnya. Dilema hari ini adalah kita mendapati banyak sekali mahasiswa yang salah masuk jurusan.

Ada yang tujuan jadi arsitek akhirnya masuk ke fakultas keguruan, ada yang niat jadi dokter malah masuk ke jurusan pertanian, ada yang niat jadi ahli pertanian masuk ke jurusan kelautan. Akhirnya apa yang terjadi? Mahasiswa hanya kuliah untuk selesai, dapat ijazah, terus cari kerja. 

Seberapa banyak mahasiswa yang berhasil tamat dan betul-betul menguasai bidangnya? Jawabannya sangat sedikit. Ini semua karena pola pendidikan yang salah arah.

Di sisi lain, pola pikir (mindset) kuliah yang hanya bertujuan untuk kerja, bukan untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Makanya wajar saja hari ini kita krisis ahli di bidangnya karena memang sistem pendidikan kita yang tidak terfokus pada long term plan.

Apakah kita masih bisa mengubah?

Yang harus kita pahami adalah bagaimana menciptakan sistem pendidikan yang terintegrasi secara menyeluruh dari TK, SD, SMP, dan SMA. kurikulum harus dibuat dengan bijak mempertimbangkan aspek psikologi, kemampuan, kebutuhan, budaya, dan agama. 

Pemerintah harus mampu memfasilitasi dan merangkul orang-orang yang memiliki keahlian di bidang kurikulum dari lima aspek yang saya sebut barusan. Pembuat kurikulum tidak boleh hanya paham 1 atau 2 aspek saja. Kalau tidak, kebijakan yang dihasilkan malah membuat masalah baru. Dan realita di lapangan inilah yang kita hadapi hari ini. 

Sinergi antara pemerintah, pembuat kurikulum, sekolah, dan masyarakat harus dikedepankan. Walau dengan budget milyaran bahkan trilyunan, tanpa melibatkan masyarakat dalam membuat kebijakan maka hasilnya akan salah arah. Terlebih dalam dunia pendidikan aspek keterlibatan orangtua punya peran besar untuk menghasilkan generasi yang bagus sesuai minat. 

Secara singkat saya menggambarkan pendidikan layaknya sebuah pabrik. Jika lokasi, pemimpin, para pekerja, kebijakan sebuah pabrik tidak tepat maka hasilnya juga akan buruk. 

Sekolah dan universitas tidak bisa berjalan dengan baik tanpa pemerintah, sebaliknya pemerintahan tidak akan berjalan sempurna tanpa pakar hasil didikan sekolah dan universitas.

Keduanya harus mampu bersinergi berjalan seiringan dengan visi dan misi yang sama agar dapat sampai ketujuan yang sama. Masyarakat juga punya peran besar untuk memberi masukan yang kritis untuk membantu pemerintah berjalan di rel yang tepat. 

Banyak hal yang harus dibenahi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Tidak mudah melepaskan benang yang sudah karut marut. Tentu kita harus mulai dari hal kecil sebagai individu.

Pemerintah juga harus terbuka terhadap saran dan kritik serta mengubah sistem yang salah dengan membuang kebijakan sesat dan menggantikan ke kebijakan yang lebih tepat. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun