Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tiga Kesalahan Umum Pengasuhan dalam Keluarga

4 Januari 2020   23:41 Diperbarui: 4 Januari 2020   23:52 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : https://borncute.com

Menjadi orangtua yang sempurna tidaklah mudah. Selain membutuhkan wawasan yang luas tentang cara mengasuh anak, juga harus memiliki kesabaran saat mendampingi tumbuh kembang anak. Jika kedua ini tidak dimiliki oleh orangtua maka sangat sulit rasanya bisa menghasilkan generasi yang tangguh.

Saya akan coba mengulas beberapa poin penting tentang persepsi/pola pikir (mindset) kurang tepat dalam pengasuhan anak yang sering terjadi didalam keluarga.

1. Mendidik Anak dimulai Saat Lahir 

Ada sebagian besar orangtua yang menganggap bahwa waktu mendidik anak dimulai saat anak sudah lahir. Pola pikir seperti ini menyebabkan tidak sedikit orangtua yang gagal mendidik anak. Jika kita merujuk ke literatur yang ada, psikologi dan neurologi, mendidik anak sebaiknya dimulai sejak usia kehamilan memasuki trisemester kedua (bulan ke empat). kenapa demikian?

karena saat memasuki bulan keempat pertumbuhan otak bayi sudah memasuki fase penting, dimana koneksi didalam otak bayi sudah mulai terjadi.

Bayi sudah bisa merekam apa yang yang ia rasa dari ibunya dan juga reaksi dari luar. Jadi, sangat penting bagi calon ibu untuk membiasakan diri melakukan hal-hal yang baik seperti membaca al-quran, membaca buku yang menambah wawasan dan juga menjaga emosi agar selalu dalam keadaan positif. Jika tidak, apa yang dirasa ibu akan otomatis tersalur ke bayi.

Jangan menganggap bayi belum memiliki kemampuan saat masih berada didalam kandungan. Ilmuan bahkan sudah membuktikan bahwa emosi yang dibawa ibu akan terekam dan terbawa kepada anak sampai dewasa.

Kebiasan ibu saat hamil akan terbawa kepada anak secara otomatis. Maka penting sekali bagi calon ibu untuk selalu membawa emosi positif dan menghindari stres saat mengandung. Disini peran suami sangat penting untuk menghadirkan suasana positif bagi istri.

2. Beban Pengasuhan Dominan ke Ibu

Hal lain yang kerap terjadi dimasyarakat kita adalah ketidakstabilan antara kehadiran ayah dan ibu dalam mengasuh anak. Umumnya dalam masyarakat kita beban pengasuhan lebih besar kepada ibu.

Saat anak tidak beres kerapkali ibu menjadi sasaran atau kambing hitam. Sehingga banyak masalah dalam keluarga muncul karena peran ayah dan ibu tidak berjalan berdampingan.

Artinya, dalam keseharian seorang anak lebih banyak menghabiskan waktu bersama ibu sedangkan kehadiran sosok ayah sangat minim. Akibatnya anak memiliki kedekatan (bonding) lebih besar ke ibu sehingga berujung pada pembentukan kepribadian yang tidak sempurna.

Seharusnya kehadiran sosok ayah dan ibu haruslah sama. Anak yang dekat dengan ayah akan lebih merasa aman dan juga memiliki kepribadian yang tegas saat besar, sementara kedekatan dengan ibu membantu anak untuk menyerap nilai kasih sayang, saling mengasihi, dan tentunyan kenyamanan. Bayangkan jika anak hanya dekat dengan ibu atau ayah saja, bagaimana mereka bisa mewarisi nilai-nilai pentng dalam hidup saat dewasa nanti.

Segala sesuatu dalam hidup ini sudah Allah tetapkan berdasarkan porsi masing-masing, ayah memiliki peran tersendiri dan begitupula ibu. Keduanya harus saling besinergi dan bekerjasama dalam mengasuh anak secara balance. Tentu tidak mudah melakukannya kecuali keduanya memiliki visi dan misi yang jelas dari awal dalam mengasuh anak.

3. Fisik lebih penting dari otak 

Banyak yang beranggapan bahwa anak sehat adalah indikasi keberhasilan mengasuh anak. Makanya dalam masyarakat ada persepsi bahwa anak sehat itu terlihat dari fisiknya. Tidak heran jika rata-rata orangtua lebih khawatir jika anak kurang gizi daripada kurang ilmu.

Karena itu fokus membesarkan anak lebih mengarah kepada asupan gizi ketimbang asupan ilmu. Selama anak tetap mau makan dan sehat maka pola asuh dianggap sudah memadai. Sementara asupan gizi diotak anak terabaikan.

Masa 1-3 tahun adalah masa keemasan bagi anak. Kemampuan otak berada di fase sangat optimal. Jika orangtua benar-benar menginvestasi waktu dan tenaga di tiga tahun pertama ini maka mereka tak perlu khawatir saat mereka besar. 

Umumnya orangtua baru mulai berinvestasi untuk pendidikan anak saat mereka masuk ke sekolah. Ini adalah kesalahan sangat fatal dalam mendidik anak. Sebetulnya gizi utama yang harus diperhatikan adalah asupan otak anak.

JIka ini terpenuhi, maka orangtua bisa membentuk anak sesuai keinginan mereka. Kemampuan otak anak dalam menyerap ilmu sangat didukung oleh asupan gizi saat kecil. 

Jika orangtua paham, mereka akan lebih memilih dan memilah makanan yang masuk ke mulut anak. Bayangkan saja ada orangtua yang bebas membiarkan anak makan permen dan makanan-makanan yang mengandung pemanis dari gula. Padahal makanan seperti ini justru memperlambat fungsi otak anak. Bahkan secara perlahan fungsi otak akan melemah dan juga berakibat kepada fungsi organ tubuh lainnya.

Sedihnya lagi karena minimnya ilmu, banyak orangtua yang membelikan minuman yang jelas-jelas mengandung pemanis buatan kepada anak saat umur mereka berada di masa keemasan. Jika mau anak cerdas maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah menjada asupan makanan ibu saat hamil. Ini merupakan pintu awal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun