Lhokseumawe, sebuah kota kecil yang kaya akan sumber daya. Di salah satu sudutnya yang terpagari perairan, terbentuk sebuah ruang publik yang dimanfaatkan dengan sangat maksimal dalam segi peningkatan ekonomi. Bukan hanya di sekitaran waduk itu, bahkan di sebuah lapangan yang dinobatkan sebagai ruang publik lainnya di Kota ini, para pedagang berjajar menitis ekonomi, mengais rezeki. Ditinjau dari satu segi, ini memberi dampak positif bagi pelaku ekonomi, bahkan jika menilik dari segi konsumen, pendagang ini adalah ‘penyelamat’ yang hadir saat mereka sedang kehausan atau merasa lapar, atau sekedar menghabiskan waktu untuk bersantai di sana. Pedagang dan penikmat ruang publik tidak dapat dipisahkan, keduanya terikat dalam ikatan simbiosis mutualisme, saling menguntungkan.
Namun dibalik segala yang positif, ada pula sisi negatif. Para konsumen tadi, setelah terpuaskan dengan jasa para pedagang akan meletakkan sampah dimana mereka suka. Hal ini akan mencoreng keindahan ruang publik. Bukan salah mereka sebenarnya, mereka menganggap setiap jengkal tanah yang mereka pijak adalah tong sampah pribadi yang siap menelan sampah mereka. Bukan pula salah si penjual atau pemerintah yang tidak menyuruh tong sampah untuk berdiri di titik-titik ruang publik.
 Mungkin mereka hanya ingin membantu para pemulung agar penghasilannya bertambah dan para pemulung itu bisa bersekolah, sebuah ide yang lumayan, sisi positif dari ketiadaan tong sampah. Namun alangkah lebih baik lagi jika tong sampah disediakan, jika ingin membantu para pemulung menambah penghasilan, jenis sampah bisa dipisahkan, jadi mereka tidak perlu membungkuk di tiap inci jalan untuk memungut sampah-sampah itu.
Sebuah pengalaman mengumpulkan tutup botol bekas untuk dijadikan suatu karya boleh juga jadi acuan untuk mengurangi polusi mata. Lelah memang, karena harus membungkuk di sepanjang jalan untuk mengumpulkannya, bahkan terik hari itu jadi tidak terasa karena tubuh telah mati rasa. Namun bakti sosial dadakan itu seharusnya dilanjutkan, bukan dengan tujuan untuk mencari keuntungan, namun untuk tujuan mempertahankan keindahan.
Menurutku, Lhokseumawe adalah kota yang indah. Namun tidak banyak tempat yang bisa memuaskan hasratku yang rindu akan petualangan yang menjanjikan pendidikan. Sebut saja Lapangan Hiraq, lapangan tempat muda-mudi menunjukkan kreatifitas ini bisa jadi salah satu acuan ruang publik yang mendidik. Meski minim fasilitas dan kerindangan adalah hal yang lumayan mahal karena hanya menghiasi pinggiran lapangan, masih saja banyak pemuda-pemudi yang mau untuk saling berbagi, beberapa komunitas menjadikan ruang publik ini sebagai markas. Lebih baik berkumpul di sini, daripada menghabiskan waktu di pantai lepas sepanjang minggu.
Ruang publik adalah milik adik yang masih suka mengejar layangan lepas. Ruang publik adalah milik kakak yang bebas merangkul ilmu lewat diskusi-diskusi seru. Ruang publik adalah milik ibu-ibu yang berteriak menyeru anaknya agar tidak bermain terlalu jauh sambil membaca buku di bawah salah satu pohon. Ruang publik adalah milik ayah yang suka jogging. Ruang publik adalah milik remaja yang cinta bersepeda. Ruang publik adalah ruang yang menyajikan semua, menjanjikan kenyamanan meski minim fasilitas, merangkul muda maupun mudi untuk unjuk kreatifitas dan lebih peduli terhadap lingkungan. Menyediakan ruang bagi pedagang untuk menjaja secara bebas. Ruang publik adalah ruang yang menyejukkan, tak apa tak terlalu hijau, tak apa jika tak luas, tak apa jika tanpa gazebo. Karena kita masih punya langit yang bertabur bintang di atas sana sebagai atapnya, langit yang sama yang menyirami kita sambil tertawa tanpa memandang beda rakyat biasa dan petinggi negara. Karena ruang publik, kita yang punya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H