Angka ini menjadi alarm kritis bagi semua negara, termasuk Indonesia, yang menjadi salah satu wilayah paling rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Di COP29, komitmen ini menjadi modal diplomasi penting untuk menarik perhatian negara-negara maju dalam mendukung upaya berbagai negara bahu-membahu mencapai tujuan bersama.
Pada hari pertama COP29, hampir 200 negara menyetujui serangkaian aturan penting untuk memulai mekanisme pasar karbon global. Aturan baru ini memungkinkan negara-negara mendapatkan "kredit karbon" sebagai imbalan atas pengurangan emisi yang mereka capai, yang kemudian dapat dijual kepada negara dengan tingkat polusi yang lebih tinggi.Â
Persetujuan terhadap mekanisme Pasal 6.4 dari Perjanjian Paris menjadi landasan bagi perdagangan pengurangan emisi karbon antarnegara. Perlu adanya regulasi lebih lanjut untuk mencocokkan pembeli dan penjual secara efisien.Â
Pasar karbon semacam ini dapat mengurangi biaya implementasi Nationally Determined Contributions (NDC) hingga 250 miliar USD per tahun, sebagaimana disampaikan oleh Mukhtar Babayev, Presiden COP29. Progress ini penting bagi Indonesia yang sedang mengembangkan pasar karbonnya setahun belakangan.
Indonesia telah berkomitmen dalam mengatasi perubahan iklim dengan menawarkan konsep perdagangan karbon dan menggalakkan reboisasi di tengah isu nasional terkait food estate. Indonesia dapat menjadikan hal tersebut peluang menjadi salah satu eksportir utama kredit karbon global di tengah upaya membangun pasar karbon domestik.Â
Kesepakatan dalam COP29 mengenai perdagangan karbon memberikan peluang untuk menjual kelebihan kredit karbon, sekaligus mengintegrasikan mekanisme internasional ke dalam pasar domestik.
Namun, hambatan regulasi dan transparansi masih menjadi isu utama. Sebuah laporan dari Climate Transparency menyebutkan bahwa meski Indonesia telah merancang peta jalan pasar karbon, tingkat implementasinya masih jauh dari memadai untuk memenuhi standar internasional.
Kritikalitas Pendanaan
Upaya pendanaan USD 100 miliar per tahun yang dijanjikan untuk negara berkembang tidak sepenuhnya terealisasi. Hadirnya New Collective Quantified Goal (NCQG), Indonesia memiliki peluang untuk mengamankan dukungan finansial baru, terutama dalam mendukung percepatan peralihan pada energi terbarukan.Â
Namun keberhasilan dalam pengamanan dana dukungan dipengaruhi besar dengan transparansi dalam pengelolaan dana iklim. Sebuah studi oleh Climate Action Tracker menunjukkan bahwa kurangnya akuntabilitas dalam implementasi proyek hijau sering menjadi penghalang bagi negara berkembang untuk mendapatkan pendanaan iklim tambahan.