Dalam peta geopolitik yang dinamis, Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP29) menjadi forum krusial untuk menegosiasikan aksi global dalam mengatasi krisis iklim.Â
Konflik Rusia-Ukraina, ketegangan politik Timur Tengah, hingga pergantian pemimpin Amerika Serikat, Donald Trump yang pro sektor energi fosil memunculkan tantangan global pada isu iklim terkait pendanaan transisi energi oleh negara maju kepada negara berkembang, dan ketidakpastian baru pada komitmen internasional terhadap perubahan iklim.Â
COP29 yang berlangsung di Baku, Azerbaijan, mengusung agenda utama, termasuk mekanisme pendanaan baru bernama New Collective Quantified Goal (NCQG). Targetnya mencapai pendanaan iklim sebesar USD 2,4 triliun pada 2030, dengan porsi signifikan sebesar USD 1 triliun dialokasikan untuk transisi energi bersih. Jika target ini tidak tercapai, global akan rugi 1,266 triliun USD akibat dampak iklim pada tahun 2100.
Posisi Strategis Indonesia
Setidaknya tiga agenda prioritas Indonesia dalam COP29 diantaranya melakukan update pencatatan atas kontribusi penurunan emisi sesuai Nationally Determined Contributions (NDC), mengamankan pendanaan iklim yang berkelanjutan, dan menjaga ketahanan area yang rentan terhadap perubahan iklim.
Agenda COP29 yang turut menyoroti isu pendanaan untuk mengganti kerugian negara-negara akibat perubahan iklim. 52 Negara V20 telah mengalami kerugian 525 miliar USD rentang tahun 2000 - 2019 akibat dampak iklim.Â
Meskipun Indonesia bukan bagian dari V20, juga memiliki resiko yang serius. Penelitian United Nation Environment Programme UNEP memperingatkan fokus negara untuk menurunkan emisi global 7.5% per tahun hingga 2035 dan mengurangi 42% emisi gas rumah kaca pada 2030 serta 57% pada 2035. Jika tidak, bumi terancam mengalami pemanasan hingga 3 derajat Celcius, dan tentu membahayakan teritorial Indonesia yang terdiri ribuan pulau.
Sebagai negara kepulauan dengan 17.000 pulau, Indonesia berada di garis depan terhadap dampak perubahan iklim. Riset BRIN mengungkap 92 dari 115 pulau kecil dan sedang Indonesia yang terancam tenggelam di tahun 2100 disebabkan naiknya permukaan air laut.
Selain itu, deforestasi, dan perubahan iklim yang ekstrim juga mendesak lahirnya inisiatif dan kontribusi Indonesia dalam pemulihan iklim global lebih strategis di kancah Internasional.
Data dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menunjukkan bahwa dunia hanya memiliki waktu kurang dari satu dekade untuk menekan kenaikan suhu global agar tetap di bawah 1,5C.