Jika Indonesia ingin mengoptimalkan pasar karbonnya, maka perlu dilakukan pemetaan peluang baik di sisi penawaran dan permintaan. Dari sisi penawaran, Indonesia dapat mengoptimalkan karbon yang bersumber dari nature-based solution, seperti sektor kehutanan dan maritim.Â
Selain itu, dari transisi energi yang tengah dilakukan juga menawarkan peluang besar dalam mereduksi emisi karbon di Indonesia. Keduanya dapat terus dikembangkan.
Sementara itu, dari sisi permintaan, dunia mengenal ada 3 jenis pasar utama karbon. Pertama Compulsory atau Compliance Market (Pasar Karbon Wajib). Misalnya, pasar ini yang diterapkan di Uni Eropa melalui mekanisme Emission Trading Scheme (ETS) atau di California-Amerika Serikat melalui mekanisme Cap-and-Trade Program.
Kedua, pasar karbon berdasarkan UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change)Â yang merupakan suatu badan di PBB yang mengurusi perubahan iklim. Pasar ini diatur dalam Kesepakatan Paris (Paris Agreement) di Artikel 6 (baik dari Artikel 6.2 maupun Artikel 6.4) yang telah ditandatangani negara-negara anggota UNFCCC.
Ketiga, Voluntary Carbon Market (VCM) dimana kredit karbon diperjualbelikan secara sukarela karena para pembelinya (bisa perusahaan, organisasi, pemerintah, atau perorangan) harus memenuhi kewajiban pengurangan emisi. Mereka dapat membayar kelebihan emisi yang dihasilkan dengan cara membeli kredit karbon.
Manakah di antara ketiga mekanisme pasar karbon ini yang sesuai dengan kondisi Indonesia? Tulisan-tulisan selanjutnya akan membahas dan menguliti masing-masing pasar karbon di atas sambil melihat peluang dan tantangannya bagi Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H