Mohon tunggu...
Masyita Crystallin
Masyita Crystallin Mohon Tunggu... Lainnya - Ekonom Senior dan Pakar Ekonomi Hijau

Masyita Crystallin adalah Partner at Systemiq and Head of Asia Pacific Sustainable Finance and Policy. Ia juga menjabat sebagai Co-chair Deputy of Coalition of Finance Minister for Climate Action. Berbekal pengalaman sebagai Staf Khusus Menteri Keuangan RI, Kepala Ekonom di Bank DBS Indonesia dan ekonom Bank Dunia, Masyita telah memainkan peran strategis dalam perumusan kebijakan fiskal dan makroekonomi, baik di tingkat nasional maupun internasional. Selain itu, ia juga berperan sebagai Dewan Komisaris Indonesia Financial Group (IFG) yang merupakan holding asuransi, penjaminan dan pasar modal. Masyita menyandang gelar PhD dari Claremont Graduate University. Ia ingin memberikan sumbangsih pada kebijakan ekonomi Indonesia termasuk ekonomi dan aksi iklim global.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menimbang Untung-Rugi Indonesia Gabung BRICS dari Sudut Pandang Ekonomi Hijau

2 November 2024   12:27 Diperbarui: 2 November 2024   12:36 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by freepik from freepik.com

Selain pembiayaan, BRICS+ juga membuka peluang bagi transfer teknologi hijau dari anggota-anggota seperti China yang unggul dalam teknologi energi baru terbarukan (EBT) seperti energi surya dan angin.

Negara Tirai Bambu itu sudah memiliki bauran antara bahan bakar fosil  dengan EBT lebih dari 50 persen dari kapasitas produksi energinya. Kapasitas produksi EBT China telah mencapai 1.45 Terrawatt. Selain itu, China juga terdepan dalam ekosistem dan rantai pasok kendaraan listrik.

Indonesia juga bisa belajar ekosistem biofuel dari anggota BRICS+ yang lain, yaitu Brazil. Dengan belajar dari keberhasilan Brazil, Indonesia bisa turut mengembangkan teknologi biofuel berbasis minyak sawit.

Namun, langkah ini harus ditempuh dengan hati-hati. Ada risiko yang mengintai ketika bahan pangan dialihkan untuk energi karena berpotensi mengurangi pasokan makanan dan mengancam kedaulatan pangan. Keseimbangan mesti ditemukan. Indonesia harus meningkatkan teknologi biofuel untuk kebutuhan transisi energinya, tanpa mengorbankan ketahanan pangan.

Tantangan Bergabung dengan BRICS+

Terlepas dari berbagai peluang yang ditawarkan, bergabungnya Indonesia ke BRICS+ bukan tanpa tantangan. Forum ini masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil. Batu bara dan minyak serta gas (migas) tetap menjadi primadona utama. Bergabung dengan BRICS+ menempatkan Indonesia dalam dilema.

Di satu sisi, dorongan ekspor bahan bakar fosil ini tentu sangat menggiurkan dalam jangka pendek. Namun di sisi lain, hal ini bisa bertentangan dengan ambisi hijau yang coba dicapai. Lagi-lagi mencari keseimbangan atas keduanya menjadi penting.

Benar bahwa aliansi ini mendorong agenda hijau. Hanya saja ada kecenderungan standar keberlanjutan BRICS+ relatif lebih longgar dibandingkan yang dimiliki negara-negara Barat.

Jika bergabung dengan BRICS+, Indonesia perlu tetap menjaga standar hijau yang tinggi agar reputasinya dalam upaya iklim tetap terjaga. Jika tidak, bisa jadi hal ini justru dapat kontraproduktif bagi kepentingan nasional dalam melaksanakan komitmen hijaunya.

Memperkuat Kepemimpinan Indonesia di Ekonomi Hijau melalui BRICS+

Image by totcmi02 from freepik.com
Image by totcmi02 from freepik.com
BRICS+ adalah peluang untuk Indonesia memperkuat posisinya di dunia internasional. Keikutsertaan ini menjadi jembatan penghubung dengan berbagai negara besar yang sama-sama sedang berkembang dan menjadi negara maju.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun