Moralitas adalah aspek kehidupan sosial dan telah menjadi inti dari teori psikologi selama lebih dari satu abad. Diskusi tentang moralitas memiliki sejarah panjang di kalangan filsuf Yunani.
Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk membedakan sisi baik dan buruk dari suatu tindakan, etika kerja yang baik, kebiasaan kerja yang baik dan perasaan cinta terhadap tindakan yang baik.
* Teori Perkembangan Moral Piaget
Piaget lebih fokus pada pembahasan struktur kognitif. Dari tahun 1927 hingga 1980 ia meneliti dan menulis tentang perkembangan kognitif. Berbeda dengan psikolog sebelumnya. Dia menemukan bahwa pemikiran anak-anak tidak hanya kurang matang dibandingkan orang dewasa karena kurangnya pengetahuan, tetapi juga secara kualitatif tidak sinkron.
Menurut Piaget, perkembangan moral terjadi dalam dua tahap yang berbeda. Tahapan pertama yang disebut Piaget sebagai "tahapan realisme moral" atau "moralitas dengan batasan". Tahap kedua, yang disebutnya "tahap moralitas otonom" atau "moralitas melalui kerja sama atau timbal balik".Â
Pada tahap awal, perilaku anak secara otomatis ditentukan oleh aturan tanpa berpikir atau menilai. Mereka memandang orang tua mereka dan semua otoritas orang dewasa sebagai mahakuasa dan mengikuti aturan yang diberikan kepada mereka tanpa mempertanyakan kejujuran mereka. Pada tahap perkembangan moral ini, anak menilai suatu tindakan sebagai "baik" atau "buruk" berdasarkan konsekuensinya daripada motif di balik tindakan tersebut.Â
Tahap kedua perkembangan moral ini bertepatan dengan "tahap aktivitas formal" Piaget dalam perkembangan kognitif. Pada tahap ini, anak dapat memvisualisasikan semua kemungkinan cara untuk memecahkan masalah dan alasan yang diberikan berdasarkan hipotesis dan asumsi. Hal ini memungkinkan anak untuk melihat masalah dari perspektif yang berbeda dan mempertimbangkan faktor yang berbeda saat memecahkan masalah.
* Teoi Perkembangan Moral Kholberg
Kohlberg mengemukakan teori perkembangan moral berdasarkan teori Piaget. Selain itu, Kohlberg juga mengeksplorasi struktur proses pemikiran yang mendasari perilaku etis. Menurut (Khoirun Nida, 2013), teori perkembangan moral Kohlberg merupakan pelumas, modifikasi dan penyempurnaan dari teori perkembangan kognitif Piaget. Tingkat perkembangan moral merupakan ukuran tinggi rendahnya moralitas seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya, seperti yang ditunjukkan oleh Lawrence Kohlberg.
Teori ini mendalilkan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari perilaku etis, memiliki enam tahap perkembangan yang dapat diidentifikasi. Kohlberg menggunakan cerita dilema etika dalam penelitiannya, dan dia tertarik pada bagaimana orang akan membenarkan tindakan mereka ketika dihadapkan pada situasi etika yang sama.
Tahap-Tahap perkembangan moral Kohlberg membagi 3 tingkat  yang masing-masing tingkat memiliki 2 tahap yaitu:
1. Tahap pra-konvensi.
 Anak-anak prakonvensional sering berperilaku "baik" dan menanggapi label budaya tentang benar dan salah, tetapi semua label itu dilihat dari perspektif fisik (hukuman, penghargaan, kebaikan) atau aturan. itu dan meneriakkan label baik dan buruk. Tingkat ini biasanya terlihat pada anak-anak antara usia 4 dan 10 tahun. Level ini mempunyai 2 fase:
a. Fase I, Orientasi Hukuman & Kepatuhan:
Orientasi Hukuman & Penghormatan Tak Terbantahkan terhadap Otoritas Yang Lebih Tinggi. Konsekuensi fisik menurut tindakan memilih apakah tindakan itu baik atau buruk, terlepas menurut pentingnya atau nilai kemanusiaannya.
b. Fase 2, Orientasi relativis-intrumental:
Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang secara instrumental memuaskan kebutuhan individu sendiri & kadang-kadang kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia ditinjau contohnya hubungan dalam tempat umum. Terdapat unsur-unsur kewajaran, timbal-balik, & persamaan pembagian, akan tetapi semuanya itu selalu ditafsirkan secara fisis pragmatis, timbal balik, & bukan soal kesetiaan, rasa terima kasih atau keadilan.
2. Langkah konvesional
Level ini disebut level konformis, tetapi istilahnya mungkin terlalu sempit. Pada tingkat ini, anak-anak hanya mengikuti harapan keluarga, kelompok, atau bangsa mereka dan dipandang layak untuk diri mereka sendiri terlepas dari konsekuensi praktis langsungnya. Individu tidak hanya menyesuaikan diri dengan tatanan sosialnya sendiri, tetapi juga berusaha melestarikan, melanggengkan, dan melegitimasi tatanan sosial tersebut. Fase ini dibagi menjadi 2 fase. ((Khoirun Nida, 2013))
A. Tahapan orientasi atau orientasi kontrak interpersonal:
Pada tahap ini, perilaku yang baik adalah perilaku yang menyenangkan atau membantu orang lain dan diterima oleh mereka. Ada kesepakatan yang kuat dengan gagasan stereotip tentang apa yang paling dianggap sebagai perilaku yang "pantas". Perilaku sering dinilai dari niat, ungkapan "dia bermaksud baik" hanya menjadi penting dan digunakan secara berlebihan. Orang mencari persetujuan dengan bersikap "baik".Â
B.Langkah 2:
Pada tahap ini, anak menentukan arah hukum dan ketertiban. Orientasi pada otoritas, aturan yang ditentukan dan pemeliharaan tatanan sosial. Melakukan hal yang benar berarti melakukan kewajiban, menghormati otoritas, dan mendukung tatanan sosial tertentu demi ketertiban. Orang mendapatkan rasa hormat dengan bertindak atas tanggung jawab mereka.
3. Fase Pasca-Konvensional
Fase pasca-konvensional ini ditandai dengan pencarian utama prinsip-prinsip moral yang otonom dan mandiri. Prinsip-prinsip ini berlaku dan dapat diterapkan terlepas dari otoritas kelompok atau individu yang memegangnya, dan terlepas dari apakah prinsip tersebut dipegang oleh individu tersebut. Diidentifikasi dengan individu atau kelompok. Level ini adalah tentang mengartikulasikan nilai dan prinsip moral yang valid dan dapat diterapkan, terlepas dari otoritas kelompok atau individu yang mempertahankan prinsip tersebut. Tahap pascakonvensional ini dibagi menjadi dua.
A. Fase 1:
Orientasi Kontrak Sosial Hukum. Orientasi kontrak sosial biasanya sah dan utilitarian. Perilaku yang benar biasanya ditentukan oleh hak dan norma bersama yang telah dipertanyakan secara kritis dan diterima oleh masyarakat secara keseluruhan. Relativitas nilai dan pendapat pribadi diakui dengan jelas, dan prosedur yang tepat untuk mencapai konsensus ditekankan. Benar dan salah adalah nilai dan pendapat individu, terlepas dari apa yang disepakati secara konstitusional dan demokratis.Â
Akibatnya, perspektif hukum ditekankan, tetapi bukannya dibekukan dalam kerangka hukum dan peraturan Level 4, penekanannya adalah pada kemungkinan perubahan undang-undang berdasarkan pertimbangan kepentingan sosial yang wajar. . Kontrak adalah bagian dari kewajiban yang mengikat.
B. Fase 2:
Orientasi pada Prinsip-Prinsip Etika Universal. Orientasi pada penentuan prinsip-prinsip etika hati nurani dan seleksi diri, berdasarkan pemahaman logis, ketelitian, universalitas, dan konsistensi. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis (Golden Rule, Categorical Imperative).
*Pengaruh Lingkungan Keluarga, Hubungan Teman Sebaya dan Sosial Terhadap Perkembangan Moral Â
-Pengaruh Perkembangan Moral dalam Lingkungan Keluarga
Orang tua dipandang sebagai pemberi pengaruh yang penting karena mereka biasanya memiliki tanggung jawab utama untuk membesarkan anak dan memiliki banyak waktu dan kesempatan untuk mempengaruhi mereka. Orang tua juga penting karena memiliki ikatan afektif yang kuat dengan anaknya, yang dapat membuat anak sangat rentan terhadap pengaruh orang tua.
-Hubungan Keterikatan dan Kebersamaan Orientasi Responsif
Kualitas hubungan keterikatan yang terbentuk selama tahun pertama kehidupan anak dengan orang tua umumnya dianggap penting untuk perkembangan moral (Thompson, 2012). Kochanska, Forman, Aksan, dan Dunbar (2005) menekankan pentingnya orientasi yang saling tanggap dalam internalisasi moralitas.Â
Orientasi ketanggapan timbal balik didasarkan pada hubungan interpersonal yang terikat dengan aman dan mencakup hubungan orang tua-anak yang positif, saling percaya, kooperatif, dan timbal balik.
-Interaksi Teman Sebaya Mempromosikan Moralitas
Konflik interpersonal anak memberikan konteks di mana anak belajar tentang hubungan antara tindakan dan konsekuensi (misalnya memukul menyebabkan rasa sakit). Ingatan anak tentang pengalaman ini, serta pengamatannya sendiri terhadap anak lain yang memukul dan menangis, dapat mengarah pada kesimpulan bahwa memukul itu salah, terutama ketika anak mengidentifikasi diri dengan korban.Â
Di masa kanak-kanak, berbagi mainan dan bertukar benda adalah sumber konflik interpersonal yang paling umum, tetapi ini berubah seiring bertambahnya usia ketika konflik dan negosiasi interaksi dan hubungan sosial menjadi lebih umum (Lamb dan Lerner 2015).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H