Mohon tunggu...
Aulia Syakhroza
Aulia Syakhroza Mohon Tunggu... -

Aulia adalah mahasiswi PhD jurusan Strategi Organisasi di Judge Business School, University of Cambridge, Inggris. Pendidikan Aulia sepenuhnya dibiayai oleh Jardine Foundation dan University of Cambridge Trust. \r\n\r\nSebelumnya, Aulia menempuh pendidikan MPA in Public and Economic Policy di London School of Economics, Inggris dan BSc in Finance and Economic Consulting di Indiana University Bloomington, Amerika Serikat.\r\n\r\nDi waktu luang, Aulia senang yoga, lari, dan menonton acara televisi komedi. Aulia bergabung di Kompasiana untuk hiburan dan berbagi informasi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kuliah di Inggris atau Amerika?

1 Juni 2014   12:45 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:51 7658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)

[caption id="" align="aligncenter" width="544" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)"][/caption]

Sebagai mahasiswa yang pernah menempuh pendidikan di Inggris dan di Amerika, saya seringkali ditanya:‘Enak yang mana sih kalau kuliah? UK atau US?’. Tulisan ini saya buat untuk membantu teman-teman yang sedang mempertimbangkan kemungkinan sekolah di luar negeri, baik itu di United Kingdom atau di United States, dua negara yang bisa dibilang kiblat pendidikan dunia. Saya menimbang beberapa faktor, antara lain: 1) sistem penilaian, 2) waktu bertemu dengan dosen, dan 3) pilihan kelas dan jurusan.

Di akhir tulisan, saya rangkum pilihan saya mengenai pendidikan di kedua negara tersebut. Artikel ini adalah berdasarkan pengalaman pribadi, jadi saya kira pasti akan ada banyak perbedaan berdasarkan kebijakan kampus masing-masing. Intinya, bila Anda sudah mempunyai universitas yang dituju, ada baiknya check sendiri ke kampus untuk menanyakan langsung apa kebijakan yang berlaku di kampus tersebut. Artikel ini hanya sebagai pedoman kasar di awal pertimbangan.

Pertama, sistem penilaian di UK dan di US berbeda. Di US, nilai kita dirangkum dalam sistem Grade Point Average (GPA) yang sama dengan sistem IPK di Indonesia. Secara garis besar, nilai A adalah 4.0, A- adalah 3.7, B+ adalah 3.3, dan B adalah 3.0. Beberapa universitas juga memberikan nilai di antara angka-angka tersebut (misalkan 3.8 atau 3.4). Untuk mendapatkan nilai A, rata-rata nilai biasanya harus lebih dari 92%. Di transkrip akan tertera GPA yang kita dapatkan untuk setiap kelas. Walau beragam, biasanya universitas di US akan menuntut mahasiswa untuk beberapa kali ujian, tugas, dan projek sebelum mendapatkan hasil GPA di akhir semester. Ini semua tergantung dosen yang mengajar kelas tersebut. Biasanya, semua ujian dan tugas dirancang oleh dosen dengan meminta approval dari departemen yang bersangkutan. Dosen tersebut pula yang akan menilai tugas atau ujian kita.

Di Inggris, nilai kita dirangkum dengan klasifikasi. Untuk mahasiswa S-1, klasifikasi tersebut adalah First Class (>=70), 2:1 (60-69), 2:2 (50-59), kemudian 3rd class. Untuk mahasiswa postgraduate adalah Distinction (>=70), Merit (60-69), dan Pass (50-59). Beda dengan di AS, di Inggris, nilai 70 pun sudah mendapatkan klasifikasi tertinggi, di mana di Amerika akan mendapatkan nilai C. Namun, jangan salah, mendapatkan nilai 70 di Inggris adalah suatu hal yang sangat tidak mudah. Biasanya, kalau jawaban kita sudah sebegitu sempurnanya, dosen akan memberikan nilai penuh sebesar 80; jadi memang jarang dan sulit sekali mendapatkan di atas nilai tersebut. Berbeda pula dengan di US, di transkrip akan tertera nilai setiap kelas kita, misalnya kita mendapatkan nilai akhir 65 akan ketahuan oleh yang membaca transkrip. Untuk mendapatkan nilai akhir, biasanya universitas di UK akan mengandalkan satu ujian saja di akhir semester/tahun untuk setiap kelas. Tentu, terkadang ada juga kampus dan kelas yang mengharuskan siswanya untuk mengerjakan projek atau presentasi, namun pada umumnya ujian atau esai panjang yang mendapatkan bobot yang paling besar.

Kalau membandingkan sistem penilaian UK dan US, saya lebih suka di US karena saya lebih baik diuji berkali-kali daripada diuji hanya sekali di akhir tahun. Diuji berkali-kali artinya saya bisa mendapatkan feedback hasil setiap ujian yang kemudian bisa saya pergunakan untuk memperbaiki nilai selanjutnya dengan berdiskusi pada dosen. Ujian sekali di akhir tahun pun membawa risiko yang sangat besar. Pada saat menempuh pendidikan master di London School of Economics (LSE), Inggris, saya sampai tidak bisa tidur memikirkan satu ujian yang menentukan usaha saya selama satu tahun. Apalagi di LSE, kalau kita tidak bisa mengikuti ujian karena sakit atau ada halangan lain, kita harus menunggu tahun depan untuk dapat mengambil ulang ujian. Bagaimana tidak khawatir? Namun yang menurut saya patut dicatat adalah banyak juga rekan saya yang senang dengan sistem 1 ujian per tahunnya UK karena sebetulnya, theoretically, bisa saja tidak belajar sama sekali selama setahun, tetapi gempor-gemporan sebelum ujian :).

Kedua, waktu pertemuan dengan dosen. Pada saat saya S-1 di Amerika dulu, kelas-kelas yang saya ikuti rata-rata berdurasi 1 jam 15 menit selama 2 kali per minggu. Dosen-pun akan mengadakan office hours yang berdurasi sekitar 1-1.5 jam per sesi setiap minggunya. Mahasiswa bebas masuk untuk menanyakan pelajaran yang masih kurang dimengerti. Kalau di Inggris, setiap kampus berbeda-beda. Di LSE, satu module pelajaran terdiri dari kuliah umum dan seminar, masing-masing berdurasi sekitar 1.5-3 jam. Biasanya kuliah umum diajar oleh profesor yang ahli di bidang tersebut, sedangkan seminar diajar oleh dosen yang lebih junior. Di seminar ini biasanya membahas soal-soal atau konsep-konsep yang sudah diajar di kuliah umum namun masih kurang dimengerti.

Dulu di LSE, untuk bertemu dengan dosen di office hours, saya harus mendaftar di website dosen untuk mengatur pertemuan selama 10-20 menit. Di kampus saya yang sekarang, yaitu University of Cambridge, sistemnya lebih mirip dengan di US, di mana kelas akan diajar oleh dosen yang sama sepanjang semester dan office hours lebih bebas. Namun, setiap departemen di Cambridge pun bisa berbeda-beda, dan juga tergantung apakah kita mahasiswa S-1 atau postgraduate. Lagi, saya menganjurkan bertanya sendiri untuk memverifikasi sistem pengajaran di kampus tujuan.

Faktor ketiga adalah pilihan kelas dan jurusan. Di AS, saat menempuh S-1, setiap siswa diwajibkan untuk mengambil kelas di luar jurusannya. Walaupun saya mengambil jurusan Finance, saya pun tetap wajib mengambil kelas Literatur, Biologi, Programming, Multivariable Kalkulus, dan Komunikasi. Di 2 tahun pertama juga pelajaran masih sangat umum dan saya dapat berganti jurusan dengan relatif mudah. Saya hanya butuh memberi tahu academic advisor saya dan mengambil kelas-kelas tambahan. Bila jurusannya lain departemen, misalnya saya ingin pindah dari departemen bisnis ke ekonomi, ada kemungkinan harus mengajukan aplikasi tambahan ke departemen tujuan.

Namun, setelah aplikasi disetujui, bisa langsung mengambil kelas-kelas tersebut di semester selanjutnya. Untuk mahasiswa S-2, saya rasa juga harus mengajukan permohonan sendiri. Di UK, pemindahan jurusan sedikit lebih sulit. Untuk mahasiswa S-1, untuk pindah jurusan, ada kemungkinan mahasiswa tersebut harus mengulang dari tahun pertama atau menambah setahun. Untuk mahasiswa S-2 di Inggris juga harus mengajukan aplikasi ke sekolah. Namun, sepengetahuan saya,  jurusan di UK lebih beragam dibanding di US, terutama untuk S-2 di bidang saya, yaitu Bisnis dan Ekonomi. Di UK pun kuliah akan ditempuh dengan waktu yang lebih cepat, yaitu 3 tahun untuk mahasiswa S-1, dan rata-rata setahun untuk mahasiswa master. Di US, S-1 memerlukan waktu 4 tahun, sedangkan S-2 rata-rata membutuhkan waktu 2 tahun.

Jadi, kalau saya pribadi ditanya: US atau UK? Jawaban jujur saya adalah US untuk S-1, dan ‘tergantung’ untuk S-2. Saya menyukai US untuk S-1 karena saya dapat mempelajari berbagai macam pelajaran di luar jurusan saya dan membangun relasi yang sangat dekat dengan dosen (karena banyak ujian artinya harus banyak bertanya berkali-kali). Untuk lulus S-1 di US pun tidak membutuhkan disertasi, cukup menyelesaikan kelas saja.Mungkin saya agak berat sebelah karena saya sendiri menempuh pendidikan di US untuk S-1, tetapi bahkan setelah kuliah postgraduate di Inggris selama 3 tahun dan banyak berdiskusi dengan teman-teman yang menempuh pendidikan S-1 di sini, pendapat saya tentang ini dari awal kuliah di Inggris sampai sekarang belum berubah. Untuk S-2 lebih bergantung pada keadaan masing-masing. Pertimbangan yang paling penting antara lain adalah ada atau tidaknya jurusan yang cocok, diterima di kampus mana, dan juga beasiswa. Pertimbangan lainnya bisa juga banyaknya mahasiswa Indonesia, dukungan keluarga, dll.

Inti dari tulisan ini adalah bahwa setiap negara tujuan kuliah mempunyai positif dan negatifnya masing-masing yang patut dipertimbangkan jauh-jauh hari. Yang lebih penting, mau itu belajar di US, UK, atau negara lainnya, pengalaman kuliah adalah sesuatu yang berharga dan membutuhkan usaha yang tidak sedikit. Selamat mempertimbangkan :).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun