Oleh: Aswika B. Arfandy, SH*)Â
SEPANJANG pekan pada awal April ini, masyarakat Indonesia kembali dikejutkan dengan munculnya "tuduhan" bahwa server Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU-RI) diretas. Katanya, server itu berada di Singapura, bukan di Indonesia. Tidak tanggung-tanggung. Dari peretasan tersebut, KPU dianggap melakukan seting hasil pemilihan presiden (Pilpres). Yakni mampu membentuk "angka jadi" di kisaran 57 persen untuk kemenangan kubu 01 (Jokowi-Ma'ruf). Belakangan diketahui, "tuduhan" yang viral dalam format video tersebut, diambil saat pertemuan relawan pro-Prabowo (pasangan capres nomor 02) di rumah mantan Bupati Serang Ahmad Taufik Nuriman.
Kondisi itu pun berbuntut. KPU-RI di bawah komando sang ketua, Arief Budiman, melaporkan kabar burung yang tak jelas kebenarannya tersebut, ke polisi. Tak berselang lama, polisi pun mengklaim telah menangkap sejumlah pihak yang diduga menjadi pelaku penyebaran berita hoax kebocoran server KPU tersebut.
Publik kemudian mempertanyakan: benarkah semudah itu membentuk angka hasil Pilpres? Seolah mengesampingkan hasil penghitungan suara manual.
Tentu bukan tanpa alasan apabila khalayak dikejutkan dengan fenomena ini. Sebab, kondisi tersebut linier dengan rilis penghitungan sejumlah lembaga survei yang awal-awal 2019 lalu, menempatkan kemenangan pasangan 01 di angka rata-rata 57 persen. Sehingga, publik patut curiga akan kebenaran isu "seting suara" tersebut. Sebab, apabila disinkronkan dengan hasil survei yang sempat menempatkan kemenangan paslon 01 di angka 57 persen, tentu akan menjadi "hal lumrah" apabila pasca pemungutan suara mendatang, hasil penghitungan di KPU berada di kisaran 57 persen.
Saya melihat, keadaan ini tidak lebih dari sebuah potensi "manajemen isu" yang tengah dibangun di masyarakat. Termasuk bagian dari ilmu "otak atik gathuk" jika orang Jawa menyebutnya. Arahnya, tentu dialamatkan kepada legitimasi KPU di masyarakat. Dengan harapan, mampu menggiring opini ketidakpercayaan publik terhadap kinerja KPU yang sudah berjalan sesuai tahapan.
Sesungguhnya, kebocoran server KPU dengan adanya peretasan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, belum terukur pasti tingkat urgensinya di Indonesia. Sebab, pola penghitungan suara pemilihan umum di negara ini, masih dilakukan manual. Yakni penghitungan di tempat pemungutan suara (TPS), direkap melalui formulir-formulir, diawasi resmi oleh sejumlah pihak: seperti saksi, bawaslu, hingga pemantau independen. Kemudian direkapitulasi secara berjenjang mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi hingga nasional.
Mungkin kondisi tersebut akan menjadi berbeda di negara yang menerapkan sistem electronic voting (e-vote). Yang menggantungkan hasilnya melalui sistem elektronik berbasis server. Pada negara-negara yang menerapkan sistem e-vote ini pun, tingkat keamanan server juga dipantau sedemikian rupa. Sehingga tidak mudah untuk diretas tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab.
Ditelaah dari sektor lainnya, potensi kebocoran server KPU tersebut kemungkinan hanya dapat berujung pada "terganggunya" konsentrasi para penyelenggara pemilu. Sebab, ketika KPU dan jajaran ke bawahnya tengah disibukkan dengan persiapan pemungutan suara, justru dipaksa harus bertambah pikirannya dengan isu kebocoran server tersebut. Dan mustahil dapat menciptakan angka 57 persen untuk kemenangan salah satu pihak, dalam sistem akhir penghitungan suara Pilpres.
Lebih luas lagi menyikapi kondisi tersebut, mungkin pengaruhnya akan terasa jika peretasan server itu, kemudian mengacak-acak sistem Daftar Pemilih Tetap (DPT). Semoga tidak. Karena, apabila sistem integrasi DPT di setiap daerah diretas dan menjadi kacau, tentu pola distribusi logistik KPU juga turut kacau. Akibatnya, tahapan pemilu tidak berjalan sesuai rencana, karena harus disibukkan dengan sinkronisasi alokasi logistik, yang sebelumnya sudah diputuskan. Hal inilah yang menyebabkan kinerja KPU dan jajarannya akan terlihat amburadul. Endingnya, publik dengan mudah digiring opininya untuk mendelegitimasi KPU dan seluruh aktivitasnya.
Disadari atau tidak, tekanan demi tekanan tentu dialami KPU. Baik bersifat langsung, maupun tidak langsung seperti isu peretasan server tersebut. Kondisi ini wajar sebagai bagian dari dinamika politik dan demokrasi. Tetapi menjadi tidak wajar apabila yang dilakukan, sudah mengarah pada bentuk penyesatan opini publik. Termasuk menjustifikasi negatif para penyelenggara pemilu.