Baru beberapa minggu ini sudah tidak ada lagi hujan yang membasahi bumi. Cuaca semakin panas. Terutama pada siang hari. Kulit rasanya terbakar, mata pedih karena banyak debu beterbangan.Â
Apalagi saat di perjalanan, banyak sekali kendaraan besar yang memenuhi jalan. Walaupun tempat tinggal saya ada di pedesaan.Â
Pada masa lalu, di pedesaan masih banyak pepohonan. Tetapi sekarang ini, banyak lahan kosong berubah menjadi perumahan.Â
Sawah dan kebun semakin berkurang. Pepohonan besar sulit dijumpai. Jika ada, jumlahnya tidak banyak.Â
Selain musim kemarau, berkurangnya jumlah pohon di berbagai tempat juga memengaruhi ketersediaan air dan suhu bumi. Seharusnya, jika pepohonan masih banyak dan hasil fotosintesis berlimpah, udara di sekitar kita tidak akan panas seperti sekarang.Â
Cuaca panas ekstrem tentu sangat berbahaya. Tidak hanya bagi manusia, tetapi juga bagi keberlangsungan hidup makhluk di sekitar kita. Baik tumbuhan maupun hewan.Â
Lalu, bagaimana upaya menghadapi panas ekstrem ini? Selama ini karena saya tinggal di desa di wilayah kabupaten Nganjuk yang terkenal dengan sebutan Kota Angin, efek panas ekstrem awalnya tidak terlalu dirasakan.Â
Saat terik, biasanya diikuti dengan angin yang berembus kencang.Â
Nah, tubuh tidak merasakan terlalu panas. Tetapi akhir-akhir ini, hembusan angin seakan tidak berarti. Cuaca tetap panas. Terik mentari terasa sangat menyengat.Â