Mohon tunggu...
Mustopa
Mustopa Mohon Tunggu... Petani - Petani

Bercerita dari desa

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Kisah Woidi di Tengah Gemerlap Kemerdekaan

18 Agustus 2023   09:11 Diperbarui: 18 Agustus 2023   09:14 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bendera merah-putih (sumber: Pixabay.com/mufidpwt

Tahun ini, kemerdekaan Indonesia telah berusia 78 tahun. Setiap tahunnya, kemerdekaan selalu dirayakan dengan suka cita. Jasa-jasa para pahlawan yang membebaskan negeri ini dari belenggu penjajahan pun selalu disebutkan. Namun, kemiskinan yang masih bertebaran di berbagai sudut negeri ini tentu menjadi tamparan perayaan kemerdekaan ini.

Bagi warga kampung saya, Woidi barangkali dikategorikan sebagai warga paling miskin sekaligus paling bodoh. Saya tahu itu melalui serangkaian argumentasi yang terejawantahkan dalam forum-forum ilegal kampung. Tak sedikit orang yang mengolok-olok sekaligus meremehkannya. Singkat kata ia terkadang menjadi bahan tertawaan karena kebodohan dan kemiskinannya.

Bilamana sudah demikian, Woidi seringkali hanya ikut senyum cengar-cengir, ikut tertawa sambil sesekali melemparkan alasan. Jarang ia marah, meski ada kalanya nampak tak senang dengan olok-olok itu. Mereka yang bercerita, ah...sungguh tak manusiawi, tertawa terpingkal-pingkal diatas kesedihan orang.

Woidi merupakan seorang petani sekaligus buruh serabutan. Tanahnya tak seberapa, hanya beberapa petak saja. Malangnya, tanah-tanah itu tak subur, gersang dan dipenuhi bebatuan. Pohon cengkeh tak hidup dengan jenis tanah itu. Ia pun hanya menanaminya dengan jagung dan singkong. Panennya barang tentu tak seberapa. Ia pun tak selalu menggarap tanah-tanah itu.

Dengan kondisi pertanian yang tak menguntungkan itu, ia pun menjadi buruh serabutan untuk menghidupi seorang istri dan empat orang anaknya. Apapun ia lakukan mulai dari bersih-bersih kebun, mencangkul, mengangkut air, mengangkut kayu, atau menjadi kenek tukang bangunan. Honornya jelas tak tentu, saya perkirakan mulai dari lima puluh ribu rupiah sampai delapan puluh ribu rupiah perhari.

Pekerjaan tersebut hanya ia lakukan ketika ia diminta oleh warga kampung saya dan beberapa kampung tetangga. Ia tak merantau mengikuti warga-warga lainnya di kota-kota besar. Menurut cerita, ia tak pernah berada dibangku sekolah. Oleh karenanya ia buta huruf sekaligus tak mampu berbahasa Indonesia.

Biarpun bodoh dan miskin, Woidi merupakan warga masyarakat yang tertib. Ia selalu berangkat ketika ada acara kerja bakti di kampung. Demikian pula ketika kampung mengadakan acara-acara tertentu, ia selalu mendapat tugas untuk memasak air (godhok wedang) dan pekerjaan-pekerjaan lain. Meski penghasilannya tak tentu, saat ada iuran tertentu baik tingkat kampung (dusun) maupun tingkat desa ia pun akan membayarnya.

Beberapa waktu yang lalu, rasanya cukup teriris ketika mendengar kondisi keuangan keluarganya. Ceritanya, untuk acara tujuh belasan desa setiap KK diwajibkan untuk membayar iuran tiga puluh lima ribu rupiah. Iuran itu digunakan untuk acara wayang kulit. Ia terbengong-bengong waktu itu.

"Aku le entuk duit lagi satus ewu winganane kae pas gerakan" (Saya dapat uang baru seratus ribu kemarin itu pas kerja bakti), gumamnya kepada Lek K tetangga saya yang mengungkapkan persoalan itu. Barangkali Lek K menyesal telah membicarakan hal itu. Suaranya seolah tercekik di tenggorokan. Baru beberapa saat kemudian ia menimpali kata-kata yang mengiris hati itu.

Kerja bakti yang disebutkan Woidi sudah berlalu lebih dari seminggu sebelum pembicaraan itu. Kegiatan itu merupakan Padat Karya yang diadakan oleh Pemerintah Desa. Dengan tenggang masa yang sepanjang itu, entah dengan apa ia hidup dan menghidupi keluarganya.

Kondisi perekonomiannya yang kempang-kempis memang tak dapat ditampik. Namun sekali lagi ia pun tetap berusaha untuk hidup umum seperti warga yang lain. Ia pun turut rutin dalam kegiatan mujadahan keliling setiap malam Jumat. Paling tidak, dalam setahun ia akan menggilir dua kali.

Perihal mujadahan ini, ia musti menyediakan camilan untuk sekitar 25 orang sekaligus teh hangat. Soal cemilan sebenarnya tak ada kewajiban jenis dan jumlahnya. Bahkan kalau tak mampu, tanpa ubo rampe itu pun sudah cukup. Kegiatan yang pada intinya untuk berdoa bersama ini memang telah disepakati agar meringankan warga agar tetap lestari dan tidak mengganggu perekonomiannya.

Namun, mulut-mulut sebagian oknum warga yang tak begitu beradab itu terkadang memaksa warga agar tak ketinggalan dengan warga yang lain. Demikian pula dengan Woidi yang senantiasa tetap menyediakan ubo rampe yang umum digunakan oleh warga lain.

Selain mujadahan, kegiatan doa lainnya adalah kenduri. Bedanya, kenduri adalah hajat pribadi yang hanya dalam waktu tertentu saja. Faedahnya untuk mengirim doa kepada keluarga yang telah meninggal atau hajat lain seperti khitanan atau pernikahan. Jika mujadahan hanya sebatas cemilan, maka kenduri ini ada makan bersama plus berkat untuk dibawa pulang.

Selama ini, tak ada kurangnya usaha Woidi untuk mencukupi kegiatan-kegiatan itu. Dapat dikatakan ia menyelenggarakannya seperti warga lain pada umumnya. Makanan yang disajikan pun berlauk daging ayam. Berkat yang dibawa pulang pun lengkap. Entah berapa lama ia harus menabung untuk mencukupinya.

Di tingkat desa, warga miskin seperti Woidi ini memang tak cukup dihitung dengan jari. Serupa perihal harta benda maupun kualitas pendidikannya. Kebanyakan dari mereka merupakan warga yang baik-baik, meski ada beberapa yang bertindak kurang baik.

Menurut cerita yang beredar, ada beberapa warga yang kemudian mencuri untuk menutup kebutuhan hidup. Baru-baru ini Bapak saya dicurhati seorang tetangga desa saya. Katanya salah seorang warga kampung saya telah mencuri beberapa tandan pisang pun dengan beberapa barang lain. Saya tak tahu benar dan tidaknya, namun terkadang memang melihatnya membawa beberapa tandan pisang padahal tak punya kebun di arah jalan itu.

Cerita yang lain yakni perihal hilangnya ayam-ayam warga. Bukan hilang dimakan binatang, melainkan ditangkap orang. Dugaan-dugaan warga selalu mengarah kepada orang-orang tertentu. Namun tak sekalipun mereka mempersoalkannya lebih jauh. Barangkali karena melihat kondisi perekonomian tertuduh yang memang kekurangan sehingga mereka tak bergerak terlalu jauh.

Kemiskinan menjadi persoalan yang amat pelik di setiap masa. Kebijakan untuk memberantasnya pun terkadang hanya sebatas retorika belaka. Tak jarang, masyarakat miskin seperti Woidi hanya sekadar menjadi alat politik semata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun