Kondisi perekonomiannya yang kempang-kempis memang tak dapat ditampik. Namun sekali lagi ia pun tetap berusaha untuk hidup umum seperti warga yang lain. Ia pun turut rutin dalam kegiatan mujadahan keliling setiap malam Jumat. Paling tidak, dalam setahun ia akan menggilir dua kali.
Perihal mujadahan ini, ia musti menyediakan camilan untuk sekitar 25 orang sekaligus teh hangat. Soal cemilan sebenarnya tak ada kewajiban jenis dan jumlahnya. Bahkan kalau tak mampu, tanpa ubo rampe itu pun sudah cukup. Kegiatan yang pada intinya untuk berdoa bersama ini memang telah disepakati agar meringankan warga agar tetap lestari dan tidak mengganggu perekonomiannya.
Namun, mulut-mulut sebagian oknum warga yang tak begitu beradab itu terkadang memaksa warga agar tak ketinggalan dengan warga yang lain. Demikian pula dengan Woidi yang senantiasa tetap menyediakan ubo rampe yang umum digunakan oleh warga lain.
Selain mujadahan, kegiatan doa lainnya adalah kenduri. Bedanya, kenduri adalah hajat pribadi yang hanya dalam waktu tertentu saja. Faedahnya untuk mengirim doa kepada keluarga yang telah meninggal atau hajat lain seperti khitanan atau pernikahan. Jika mujadahan hanya sebatas cemilan, maka kenduri ini ada makan bersama plus berkat untuk dibawa pulang.
Selama ini, tak ada kurangnya usaha Woidi untuk mencukupi kegiatan-kegiatan itu. Dapat dikatakan ia menyelenggarakannya seperti warga lain pada umumnya. Makanan yang disajikan pun berlauk daging ayam. Berkat yang dibawa pulang pun lengkap. Entah berapa lama ia harus menabung untuk mencukupinya.
Di tingkat desa, warga miskin seperti Woidi ini memang tak cukup dihitung dengan jari. Serupa perihal harta benda maupun kualitas pendidikannya. Kebanyakan dari mereka merupakan warga yang baik-baik, meski ada beberapa yang bertindak kurang baik.
Menurut cerita yang beredar, ada beberapa warga yang kemudian mencuri untuk menutup kebutuhan hidup. Baru-baru ini Bapak saya dicurhati seorang tetangga desa saya. Katanya salah seorang warga kampung saya telah mencuri beberapa tandan pisang pun dengan beberapa barang lain. Saya tak tahu benar dan tidaknya, namun terkadang memang melihatnya membawa beberapa tandan pisang padahal tak punya kebun di arah jalan itu.
Cerita yang lain yakni perihal hilangnya ayam-ayam warga. Bukan hilang dimakan binatang, melainkan ditangkap orang. Dugaan-dugaan warga selalu mengarah kepada orang-orang tertentu. Namun tak sekalipun mereka mempersoalkannya lebih jauh. Barangkali karena melihat kondisi perekonomian tertuduh yang memang kekurangan sehingga mereka tak bergerak terlalu jauh.
Kemiskinan menjadi persoalan yang amat pelik di setiap masa. Kebijakan untuk memberantasnya pun terkadang hanya sebatas retorika belaka. Tak jarang, masyarakat miskin seperti Woidi hanya sekadar menjadi alat politik semata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H