Tahun ini, kemerdekaan Indonesia telah berusia 78 tahun. Setiap tahunnya, kemerdekaan selalu dirayakan dengan suka cita. Jasa-jasa para pahlawan yang membebaskan negeri ini dari belenggu penjajahan pun selalu disebutkan. Namun, kemiskinan yang masih bertebaran di berbagai sudut negeri ini tentu menjadi tamparan perayaan kemerdekaan ini.
Bagi warga kampung saya, Woidi barangkali dikategorikan sebagai warga paling miskin sekaligus paling bodoh. Saya tahu itu melalui serangkaian argumentasi yang terejawantahkan dalam forum-forum ilegal kampung. Tak sedikit orang yang mengolok-olok sekaligus meremehkannya. Singkat kata ia terkadang menjadi bahan tertawaan karena kebodohan dan kemiskinannya.
Bilamana sudah demikian, Woidi seringkali hanya ikut senyum cengar-cengir, ikut tertawa sambil sesekali melemparkan alasan. Jarang ia marah, meski ada kalanya nampak tak senang dengan olok-olok itu. Mereka yang bercerita, ah...sungguh tak manusiawi, tertawa terpingkal-pingkal diatas kesedihan orang.
Woidi merupakan seorang petani sekaligus buruh serabutan. Tanahnya tak seberapa, hanya beberapa petak saja. Malangnya, tanah-tanah itu tak subur, gersang dan dipenuhi bebatuan. Pohon cengkeh tak hidup dengan jenis tanah itu. Ia pun hanya menanaminya dengan jagung dan singkong. Panennya barang tentu tak seberapa. Ia pun tak selalu menggarap tanah-tanah itu.
Dengan kondisi pertanian yang tak menguntungkan itu, ia pun menjadi buruh serabutan untuk menghidupi seorang istri dan empat orang anaknya. Apapun ia lakukan mulai dari bersih-bersih kebun, mencangkul, mengangkut air, mengangkut kayu, atau menjadi kenek tukang bangunan. Honornya jelas tak tentu, saya perkirakan mulai dari lima puluh ribu rupiah sampai delapan puluh ribu rupiah perhari.
Pekerjaan tersebut hanya ia lakukan ketika ia diminta oleh warga kampung saya dan beberapa kampung tetangga. Ia tak merantau mengikuti warga-warga lainnya di kota-kota besar. Menurut cerita, ia tak pernah berada dibangku sekolah. Oleh karenanya ia buta huruf sekaligus tak mampu berbahasa Indonesia.
Biarpun bodoh dan miskin, Woidi merupakan warga masyarakat yang tertib. Ia selalu berangkat ketika ada acara kerja bakti di kampung. Demikian pula ketika kampung mengadakan acara-acara tertentu, ia selalu mendapat tugas untuk memasak air (godhok wedang) dan pekerjaan-pekerjaan lain. Meski penghasilannya tak tentu, saat ada iuran tertentu baik tingkat kampung (dusun) maupun tingkat desa ia pun akan membayarnya.
Beberapa waktu yang lalu, rasanya cukup teriris ketika mendengar kondisi keuangan keluarganya. Ceritanya, untuk acara tujuh belasan desa setiap KK diwajibkan untuk membayar iuran tiga puluh lima ribu rupiah. Iuran itu digunakan untuk acara wayang kulit. Ia terbengong-bengong waktu itu.
"Aku le entuk duit lagi satus ewu winganane kae pas gerakan" (Saya dapat uang baru seratus ribu kemarin itu pas kerja bakti), gumamnya kepada Lek K tetangga saya yang mengungkapkan persoalan itu. Barangkali Lek K menyesal telah membicarakan hal itu. Suaranya seolah tercekik di tenggorokan. Baru beberapa saat kemudian ia menimpali kata-kata yang mengiris hati itu.
Kerja bakti yang disebutkan Woidi sudah berlalu lebih dari seminggu sebelum pembicaraan itu. Kegiatan itu merupakan Padat Karya yang diadakan oleh Pemerintah Desa. Dengan tenggang masa yang sepanjang itu, entah dengan apa ia hidup dan menghidupi keluarganya.