Mohon tunggu...
Mustopa
Mustopa Mohon Tunggu... Petani - Petani

Bercerita dari desa

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Daun Pepaya dan Daun Katuk sebagai Pelancar ASI

10 Agustus 2023   07:02 Diperbarui: 10 Agustus 2023   07:08 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Daun pepaya (sumber: Pixabay.com/ignartonosbg)

Sudah menjadi kebiasaan warga kampung saya, ketika ada anggota keluarga yang melahirkan maka mereka akan memanfaatkan hijauan yang murah meriah untuk mendukung lancarnya ASI. Diantara banyaknya jenis hijauan yang tersedia, daun pepaya (Carica papaya) dan daun katuk (Sauropus androgynus) merupakan yang paling populer.

Ihwal penggunaan kedua jenis tanaman itu, hingga kini warga masyarakat masih berpedoman pada tradisi turun temurun. Oleh karena itu, tidak ada petunjuk secara medis mengenai resep resmi dari dokter maupun bidan yang mereka kenal. Masyarakat menggunakannya berdasarkan pengalaman masa lalu dan kemudian menyampaikannya secara lisan.

Ketiadaan resep khusus itu menjadi sebab Ibu-ibu yang sedang menyusui harus menyesuaikan diri dengan kondisi ASI-nya. Maksudnya, jika ASI terlalu banyak maka mereka akan mengurangi konsumsi keduannya. Sebaliknya, jika ASI kurang lancar keduanya akan dikonsumsi dengan porsi yang lebih banyak.

Daun pepaya yang dikenal dengan nama godhong gandul atau godhong kates di kampung saya, digunakan dengan cara ditumbuk atau dihaluskan dengan blender kemudian diperas dan diambil sarinya untuk diminum. Rasanya memang pahit bukan main, sama pahitnya dengan brotowali atau buah mahoni. Kendati demikian, Ibu yang sedang menyusui akan dengan senang hati untuk mengkonsumsinya.

Daun katuk (sumber: Pixabay.com/nandhukumar)
Daun katuk (sumber: Pixabay.com/nandhukumar)

Sementara itu,warga masyarakat memanfaatkan daun katuk dengan cara yang berbeda, yakni sebagai sup. Di kampung saya, sup tersebut acap kali disebut dengan istilah boboran (sayur gurih). Rasanya segar, tidak pahit seperti halnya daun pepaya. Oleh karenanya, daun katuk lebih menjadi pilihan untuk yang tidak suka rasa pahit. Karena rasanya yang gurih itu, menu ini juga disukai oleh anak-anak atau orang dewasa lainnya.

Sejauh ini, warga masyarakat menganggap bahwa kedua tanaman tersebut memang manjur dalam urusan memperlancar ASI. Maka dari itu, mereka sengaja membudidayakannya baik di ladang maupun di sekitar pekarangan rumah. Sebab lain maraknya pembudidayaan tanaman tersebut karena keduanya memiliki fungsi tambah dalam hal kesehatan maupun fungsi ekonomi.

Dalam bidang kesehatan, mengutip situs halodoc.com, setidaknya ada tujuh manfaat ketika mengkonsumsi daun katuk ini. Pertama, meningkatkan antioksidan pada tubuh. Kedua, mempercepat proses penyembuhan. Ketiga, mencegah infeksi bakteri. Keempat, menurunkan gula darah. Kelima, mencegah sembelit. Keenam, mencegah obesitas. Ketujuh, meningkat kualitas sperma.

Masih dari sumber yang sama, daun pepaya pun memiliki sederet manfaat bagi kesehatan tubuh. Pertama, mengontrol kadar gula darah. Kedua, meningkatkan fungsi pencernaan. Ketiga, menjaga kesehatan kulit. Sedangkan untuk Ibu menyusui, daun pepaya juga memiliki manfaat tambahan yakni untuk mengatasi kerontokan rambut, mengurangi ketidaknyamanan di perut, dan menurunkan resiko terkena kanker payudara.

Bagi warga kampung saya, selain sebagai pelancar ASI, daun pepaya dikonsumsi untuk menambah nafsu makan dan pencegah malaria. Cara mengkonsumsinya pun serupa, yakni dengan mengambil sarinya. Oleh karenanya, daun pepaya dianggap juga sebagai jamu.

Namun demikian, oleh warga masyarakat daun pepaya tidak hanya dimanfaatkan sebagai jamu saja melainkan juga sebagai sayur dan kluban. Sebagai sayur, terkadang rasa pahitnya dihilangkan dengan cara direndam air plus tanah liat. Jika dikonsumsi sebagai kluban maka akan direbus, dicincang dan kemudian diurapi dengan sambal jenggot (sambal dengan parutan kelapa). Pasangan kluban ini adalah nasi jagung.

Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, kedua dedaunan ini pun memiliki manfaat ekonomi. Keduanya dapat dijual melalui pedagang kampung atau pasar kecamatan. Harganya seribu sampai dua ribu rupiah untuk tiap ikatnya. Nilai yang tidak besar, namun dengan perawatan tanaman yang tidak serumit tanaman lain, kedua tanaman ini mampu menyumbang penghasilan warga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun